Ayo, Bijak Bermedia Sosial!

bijak bermedia sosial

Siapa tak kenal media sosial? Platform digital yang telah menjadi bagian hidup kita sehari-hari. Bagai pedang bermata dua, media sosial dapat berdampak positif dan negatif. Bagaimana kita menyikapi hal tersebut?

Fenomena pembunuhan anak di Makassar sehubungan dengan penjualan organ tubuh manusia telah mengejutkan masyarakat Indonesia. Inisiatif pelaku muncul setelah ia mendapatkan informasi dari sebuah akun penjualan organ tubuh di media sosial. 

Hal ini seolah membuktikan bahwa literasi digital di Indonesia masih sangat rendah. Siapa pun dengan sangat mudah terpapar oleh internet, terutama media sosial. Namun sayangnya, banyak orang yang mudah percaya dan “termakan” oleh informasi apa pun yang tersedia di media sosial.

Bagaimana kita menyikapi hal tersebut?

Media sosial, platform digital yang menyediakan fasilitas untuk melakukan aktivitas sosial tanpa dibatasi ruang dan waktu, telah menjadi bagian dari keseharian kita. Tanpa terasa saat scrolling layar ponsel, beragam informasi masuk dari konten-konten yang melintas, baik berupa tulisan, gambar, atau video.

Bagai pedang bermata dua, media sosial memberikan dampak positif dan negatif kepada penggunanya. Banyak konten yang memberikan informasi positif untuk menambah pengetahuan, memicu kreativitas, atau menghibur. Namun tidak sedikit konten negatif yang menimbulkan kecemasan, rasa takut, amarah, kebencian, dan bahkan niat jahat.

Sumber: APJII Survei Profil Internet Indonesia 2022

Survei Profil Internet Indonesia 2022 yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2022 adalah sebesar 210.026.769, atau sama dengan 77,02% dari total populasi penduduk Indonesia yang sejumlah 272.682.600 jiwa.

Sumber: APJII Survei Profil Internet Indonesia 2022

Masih menurut survei yang sama, konten internet yang paling sering diakses adalah media sosial, mencapai angka 89,15% dari seluruh konten yang tersedia dengan akses internet, disusul oleh media online chatting, yang angkanya mencapai 73,86%.

Sementara itu, Kemenkominfo mencatat bahwa media sosial menjadi saluran penyebar hoaks terbesar di Indonesia, angkanya mencapai 92,4%, diikuti media online chatting (62,80%), dan situs web menempati urutan ke tiga dengan angka 34,90%.

Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, Septiaji Eko Nugroho, dalam publikasi Kemenkominfo “Melawan Hoaks” menjelaskan bahwa hoaks adalah informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya, atau juga bisa diartikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang meyakinkan, tetapi tidak bisa diverifikasi kebenarannya.

Hal itu tentu saja mengkhawatirkan, dan apabila tidak kita sikapi dengan benar, tidak hanya mengancam kedamaian hidup kita pribadi, tapi juga berpotensi merusak moral bangsa, dan mengakibatkan disintegrasi.

Sebagai orang tua dan pendidik, kita harus bisa menjadi agen perubahan dan melindungi diri kita sendiri dari potensi efek negatif penggunaan media sosial.

Kita mulai dari diri sendiri dan anak-anak kita, dengan melakukan:

  1. Selektif memilih pertemanan di media sosial

Pastikan bahwa kita benar-benar mengenal orang-orang yang berteman dengan kita di media sosial. Jangan asal terima permintaan pertemanan, karena bisa jadi akun tersebut dijalankan oleh orang-orang yang berniat buruk, seperti untuk menyebarkan hoaks, atau bahkan melakukan penipuan dan/atau tindak kejahatan lainnya.

  1. Selektif memilih akun yang diikuti

Pastikan akun-akun yang kita ikuti di media sosial adalah akun-akun yang terpercaya. Terutama akun yang menyajikan berita, pastikan bahwa akun tersebut milik media arus utama dan kredibel, jelas redaksionalnya, sesuai dengan standar dan kode etik jurnalistik, mengikuti Pedoman Pemberitaan Media Siber, dan terdaftar dalam Dewan Pers.

  1. Batasi waktu penggunaan sosial media

Kompas melansir mengenai batasan wajar penggunaan sosial media. Memang belum ada ketentuan yang pasti tentang berapa lama tepatnya seseorang boleh bermain media sosial dalam sehari, karena setiap orang memiliki kondisi psikologis dan reaksi emosional yang berbeda. Namun seorang psikoterapis dari California School of Professional Psychology, Philip Cushman, menganjurkan pembatasan penggunaan media sosial selama 30 – 60 menit per hari.

  1. Saring sebelum sharing

Selalu lakukan check and recheck kesahihan informasi sebelum meneruskan pesan dan/atau data yang diterima melalui media sosial. Gunakan mesin penelusuran seperti Google, pastikan informasi yang kita terima itu sahih dengan mencari pernyataan resmi sehubungan hal tersebut dari lembaga-lembaga otoritatif, seperti POLRI, TNI, Kementrian-kementrian, dan sebagainya.

  1. Lindungi diri

Jangan mencantumkan informasi pribadi, baik itu milik kita sendiri ataupun orang lain. Informasi pribadi seperti nomor telepon, alamat rumah, nomor KTP, dan lain-lain, bisa digunakan untuk melakukan penipuan dan kejahatan siber lainnya. Hati-hati juga dalam membuat konten (menulis status, membuat gambar atau video, dan sebagainya), karena seringkali tanpa disadari konten yang kita unggah dapat mengungkapkan informasi pribadi kita.

  1. Jaga etika dalam berkomentar

Jangan menjadi keyboard warrior, hindari perdebatan di dunia maya. Dengan begitu kita bisa menjaga ketenangan hati kita sendiri, dan juga menghindari huru-hara di media sosial. Jadilah warganet yang santun, saling menghargai dan menghormati.

  1. Scroll and move on

Apabila menemukan konten yang tidak kita sukai, abaikan saja. Jangan memberikan komentar yang memancing perdebatan. Namun, apabila kita yakin bahwa konten tersebut melanggar aturan komunitas media sosial, laporkanlah konten tersebut ke pusat pengelolaan masing-masing platform. Dan jika kita yakin bahwa konten tersebut melanggar ketentuan UU ITE, laporkan segera ke Kemenkominfo.

Media sosial memang sebuah cara revolusioner dalam berkomunikasi. Sifatnya yang instan dan real-time telah menghubungkan kita dengan siapa pun di dunia ini. Oleh karenanya, bijaklah dalam bermedia sosial. Saat kita mengunggah konten dalam bentuk apa pun, hendaknya disertai kesadaran bahwa konten tersebut akan masuk ke ruang publik, dan kita harus siap dengan segala konsekuensinya.

Mari kita semua segera membiasakan diri untuk bijak menggunakan media sosial. Jangan lupa juga ajarkan pada anak-anak dan murid-murid kita mengenai literasi digital, dan mari kita semua bertekad agar kejadian menyedihkan di Makassar itu tidak lagi terulang di mana pun.

Penulis: Astrid Prahitaningtyas

Artikel terkait:

Share :

Related articles