Bias Gender: Masih Relevan?

Perjuangan kesetaraan gender tak lagi melulu soal akses terhadap pendidikan, profesi, kesehatan, dan sebagainya. Kita diajak untuk berpikir mikro dalam perspektif gender demi mematahkan bias dan stereotip gender. Maskulinitas dan feminitas tak hanya mendegradasi, tapi juga beracun serta berpotensi menimbulkan kekerasan.

Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret adalah sebuah selebrasi di mana perempuan diakui atas prestasi dan pencapaiannya di berbagai bidang. Meskipun baru diakui secara resmi oleh PBB pada tahun 1977, pergerakan perempuan telah dimulai pada tahun 1848 di mana Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Mott menginisiasi konvensi di Amerika Serikat dengan agenda menyetarakan hak-hak perempuan dengan laki-laki.

Hampir dua ratus tahun kemudian, apakah perjuangan kesetaraan gender masih relevan di abad 21 ini? 

Tujuan kelima dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, sehingga pengarusutamaan gender telah banyak diterapkan dalam berbagai kebijakan, program, dan kegiatan, baik sektor pemerintahan maupun swasta, di mana perbedaan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat bagi laki-laki dan perempuan telah diminimalkan, atau bahkan ditiadakan.

Meskipun begitu, ternyata masih terdapat kesenjangan angka capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara laki-laki dan perempuan. Kemenpppa dalam publikasinya Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2020 menyatakan bahwa IPM laki-laki berstatus tinggi, yaitu di angka 75,96%, dan IPM perempuan berstatus sedang, yaitu di angka 69,18%. Artinya, akses yang didapatkan perempuan terhadap hasil pembangunan, yaitu dalam hal memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan akses yang didapatkan oleh laki-laki.

Hal ini tentunya masih menjadi tantangan karena prinsip utama pembangunan manusia adalah memastikan baik laki-laki maupun perempuan memiliki banyak pilihan dalam kehidupannya, menyadari potensi yang ada pada dirinya, dan kebebasan menjalani kehidupan secara terhormat dan berharga. Oleh karenanya, kesetaraan gender menjadi indikator yang tidak dapat diabaikan. Laki-laki dan perempuan sama-sama penting untuk diperhitungkan, sehingga sama-sama dapat berperan, terlibat, dan berkontribusi untuk mencapai pembangunan manusia seutuhnya.

Senada dengan hal tersebut di atas, dalam situsnya Komunitas Hari Perempuan Internasional mengajak kita untuk menciptakan dunia yang setara gender, bebas dari bias, stereotip, dan diskriminasi. #BreakTheBias adalah tema dan tagar yang ditentukan untuk peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2022 ini.

Ternyata, meski telah melewati hampir dua abad, kesetaraan gender masih belum bisa dicapai sepenuhnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial (INSISTPress, 2008) menjelaskan bahwa konsep gender mengacu pada sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi baik secara sosial maupun kultural, di mana terjadi pembagian tugas, kedudukan, dan peran yang ditentukan berdasarkan sifat-sifat yang dianggap pantas menurut norma, adat istiadat, kepercayaan, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Konsep gender erat keterkaitannya dengan stereotip maskulinitas dan feminitas. Maskulinitas adalah di mana laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa, serta harus sukses dalam karirnya (ruang publik). Sedangkan feminitas adalah pada saat perempuan dianggap lemah lembut, emosional, dan keibuan, sehingga urusan mendidik anak, mengelola dan merawat rumah dianggap sebagai “kodrat” perempuan (ruang domestik). Hal inilah yang disebut sebagai bias gender.

Bagaimana kita menyikapi hal ini? Apakah kita memang telah benar-benar melepaskan diri dari bias dan menerapkan keadilan gender dalam kehidupan sehari-hari? Atau kita justru tidak mau meninggalkan “zona nyaman” akibat konstruksi sosial gender?

Stereotip maskulinitas dan feminitas bukan hanya mendegradasi, tapi juga beracun (toxic). Mendegradasi karena manusia dinilai bukan berdasarkan kualifikasinya, dan menjadi beracun pada saat seseorang menerima stereotip sebagai “kodratnya”, hingga mengabaikan kebutuhan, potensi, dan cita-citanya sendiri demi menyesuaikan dengan ekspektasi masyarakat yang sudah terlanjur nyaman hidup dalam sistem dan budaya patriarki.

Maskulinitas toksik biasanya tampak melalui ciri di mana laki-laki tidak boleh menangis, tidak membutuhkan kehangatan dan kenyamanan, tidak perlu menerima bantuan, tidak boleh bergantung pada siapa pun, harus memiliki kekuasaan dan status sosial yang tinggi, berperilaku agresif dan dominan (khususnya terhadap perempuan), dianggap keren dengan kebiasaan tidak sehat seperti merokok, dan sebagainya.

Feminitas toksik biasanya tampak melalui ciri di mana perempuan harus bisa memasak, harus pandai mengurus rumah, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, harus pintar berdandan, harus cepat menikah, lemah dan tunduk pada laki-laki, dan sebagainya.

Nina Anna Surti, S.Psi., M.Si., seorang psikolog anak, dalam Parapuan, April 2021, menyatakan bahwa maskulinitas dan feminitas toksik ini bisa mengakibatkan kekerasan, baik pada sesama gender atau lawan jenisnya. Dari hal yang kesannya sepele, seperti mengomentari gambar alis yang miring pada sesama perempuan karena merasa harus pintar berdandan, hingga tindak perkosaan yang dikarenakan anggapan bahwa laki-laki harus mendominasi perempuan.

Jika kita menginginkan angka capaian pembangunan manusia yang utuh dan seimbang antara laki-laki dan perempuan, kita harus bisa mematahkan bias terhadap peran dan nilai gender dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, kita harus mengajarkan kesetaraan gender pada anak-anak sejak dini. 

Dimulai dari hal yang paling dasar, contohnya baik anak laki-laki maupun perempuan tidak boleh berperilaku kasar, dan merokok adalah kebiasaan buruk bagi manusia tanpa memandang jenis kelaminnya. Kita juga harus mulai memvalidasi emosi anak, baik anak laki-laki maupun perempuan boleh mengekspresikan kesedihannya melalui air mata. Tak kalah penting, kita harus mengarahkan minat anak akan profesi berdasarkan cita-cita, potensi, dan kemampuannya.

Patahkan bias dan ambil tindakan demi kesetaraan gender.

Penulis : Astrid Prahitaningtyas

Artikel Terkait :

Share :

Related articles