Perjuangan perempuan untuk bisa berkarya di industri yang didominasi laki-laki masih terus berlanjut, salah satunya di bidang sains. Bagaimana harusnya masyarakat bersikap? Yuk, simak artikel ini.
Pemberdayaan perempuan masih menjadi salah satu perjuangan di Indonesia hingga saat ini. Tak hanya masyarakat pada umumnya, tetapi masih banyak juga perempuan yang terjebak dalam mindset tradisional, yang membuat mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan tinggi, dan berakhir di pelaminan pada usia yang sangat dini. Desakan ekonomi menjadi salah satu alasan utama banyaknya praktik pernikahan dini pada perempuan, khususnya di daerah terpencil.
Nasib perempuan di kota besar lebih baik. Walau jika ditelaah lebih jauh, masih terdapat kesenjangan gender, baik dalam pendidikan maupun karier. Tidak semua perempuan Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, hanya karena “kodratnya” sebagai ibu dan istri. Andai pun perempuan berkesempatan mendapatkan pendidikan tinggi dan berkarier, perjuangannya sungguh terjal dan curam, karena peran ganda yang dijalani perempuan membuat banyak dari mereka yang tidak mampu “berlari” sekencang laki-laki.
Khususnya untuk perempuan yang berkecimpung di bidang Sains, Teknologi, Engineering (teknik), dan Matematika (STEM), kesempatan mereka untuk mencapai on top masih sangat kecil. Bidang-bidang ini masih didominasi oleh laki-laki.
Menurut data UNESCO Science Report 2021, Bab 3 mengenai Women and The Digital Revolution, perempuan tetap menjadi minoritas dalam teknologi informasi digital, komputasi, fisika, matematika, dan teknik. Bidang-bidang yang mendorong revolusi digital dan banyak pekerjaan di masa depan. Secara global, periset perempuan hanyalah sejumlah 33%. Sementara itu, hanya 28% perempuan yang berhasil lulus di bidang teknik, dan hanya 22% perempuan yang bekerja di bidang artificial intelligence (AI). Sedangkan dari seluruh lulusan Ph.D di dunia, jumlah perempuan tak sampai separuhnya, yaitu 44%.
Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia. Bidang STEM lebih banyak digeluti oleh laki-laki. Hanya sedikit perempuan yang berani mengambil jurusan ini, lulus, dan meneruskan karier di bidang ini.
Menurut data yang dipaparkan dalam buku Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Perkembangan, Kebijakan, dan Tantangannya di Indonesia yang ditulis oleh para peneliti LIPI, pada 2017, jumlah periset perempuan Indonesia hanya sejumlah 35%. Persentase yang sangat kecil tersebut digambarkan sebagai leaky pipeline, di mana banyak perempuan meninggalkan kariernya di bidang STEM ke bidang lainnya. Hal ini terjadi akibat adanya kebijakan yang tidak mendukung perempuan saat menjalani kariernya sebagai peneliti.
Dalam Indonesia Edu Webinar ini, dr. Herawati Sudoyo, M.S, Ph.D, seorang peneliti perempuan di Indonesia, menyatakan bahwa hambatan utama perempuan untuk berkarier di bidang STEM adalah peran gandanya sebagai istri dan ibu. Profesi sebagai peneliti dan periset bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan konsentrasi tinggi dan pengabdian waktu serta tenaga yang cukup besar, untuk mampu menghasilkan sebuah terobosan atau penemuan yang dapat digunakan untuk kemslahatan masyarakat.
Para perempuan, khususnya yang sudah berkeluarga, biasanya akan dibenturkan pada kondisi di mana mereka harus memilih antara pekerjaan dan keluarga. Di sinilah tantangan terbesar perempuan. Mereka, yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarga dan tempat kerjanya, akan mundur perlahan dari kariernya dan memilih untuk full-time mengurus keluarga.
Oleh karena itu, Herawati menggarisbawahi bahwa perempuan butuh dukungan penuh untuk bisa menjalani perannya semaksimal mungkin. Selain dukungan penuh dari keluarga, perlu dibuat kebijakan-kebijakan dalam dunia kerja yang pro-family agar beban perempuan yang mengemban peran ganda bisa lebih ringan, sehingga mereka dapat memusatkan pikiran dan tenaganya untuk berkarya.
Beberapa dukungan yang bisa diberikan, di antaranya tersedianya fasilitas cuti melahirkan tanpa adanya pemotongan gaji. Di tempat kerja, perlu ada fasilitas nursing room untuk para ibu menyusui agar dapat tetap memerah ASI dan menyimpan hasilnya dengan baik. Selain itu, perusahaan perlu mempertimbangkan untuk menyediakan child care, di mana para ibu dapat menitipkan anak-anak mereka selama bekerja. Lalu, yang paling utama, dukungan penuh dari atasan dan rekan kerja juga akan meningkatkan performa ibu bekerja.
Di masa kini, perempuan dapat menekuni bidang apa pun tanpa batas, karena perempuan dan laki-laki memiliki intelektualitas yang sama. Namun, kita harus menyadari bahwa masih terjadi pembedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Hal itu membuat banyak perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Dalam rangka International Day of Women and Girls in Science yang jatuh tiap tanggal 11 Februari ini, mari kita lebih “melek” terhadap kondisi bahwa perjuangan perempuan pada umumnya, dan di dunia sains khususnya, harus dilanjutkan. Harapannya, kelak akan semakin banyak perempuan dalam sains yang bisa menjadi panutan, sehingga anak-anak perempuan tak lagi harus khawatir untuk bercita-cita tinggi, khususnya dalam bidang STEM.
Penulis: Diah Lucky Natalia
Artikel terkait:
- Bukan Kebayaan, Ini Esensi Peringatan Hari Kartini
- Bias Gender: Masih Relevan?
- Merayakan Perempuan, Memperjuangkan Kesetaraan