Tren ChatGPT? Ini Cara Menyikapinya

sikapi chatgpt

Kemampuan ChatGPT makin santer terdengar. Dengan aplikasi berbasis artificial intelligence ini, kita dapat berkomunikasi dengan komputer dalam bentuk teks. ChatGPT ini sangat mungkin untuk disalahgunakan, misalnya untuk membuat tugas tulisan oleh siswa. Bagaimana kita menyikapi hal ini?

Akhir-akhir ini, ChatGPT menjadi tren. Aplikasi berbasis articial intelligence (AI) ini memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dengan komputer, dengan gaya percakapan dalam bentuk teks, layaknya aplikasi online chatting.

Fitur interaksi ini menarik, karena belum banyak ditemukan pada aplikasi berbasis AI yang sudah banyak beredar. Karena kemudahannya, ChatGPT banyak digunakan untuk berbagai tujuan, salah satunya membuat artikel, dalam bentuk apa pun, termasuk tugas tulisan. Hal ini tentunya berpotensi mendisrupsi dunia pendidikan.

Kompas melansir bahwa beberapa waktu silam, Otoritas Pendidikan Kota New York telah melarang penggunaan ChatGPT. Chatbot ini memungkinkan untuk mendapatkan jawaban dengan cepat dan mudah, hal inilah yang dianggap sebagai penghambat keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah, hal-hal penting untuk kesuksesan akademis dan seumur hidup. Penyalahgunaan ChatGPT juga sudah mulai bermunculan, seperti yang telah disebutkan di atas, salah satunya adalah untuk mengakali tugas penulisan esai/makalah.

Sebenarnya, aplikasi penulisan berbantuan AI bukanlah hal baru, sudah ada sekitar 50 aplikasi yang terlebih dahulu beredar. Namun, kebanyakan merupakan aplikasi berbayar, jadi tak heran saat keberadaan ChatGPT yang gratis ini menarik minat banyak orang.

Sebagai pendidik, bagaimana sebaiknya kita menyikapi fenomena ChatGPT ini? 

Alih-alih melarangnya seperti yang dilakukan oleh Otoritas Pendidikan Kota New York, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menyiasati hal ini.

  1. Menambah variabel penilaian

Meskipun interaktif, hingga saat ini ChatGPT belum menyediakan fitur pengutipan sumber/sitasi. Celah ini bisa kita optimalkan dalam menilai tulisan peserta didik, yaitu dengan mewajibkan siswa untuk menyertakan sitasi dalam setiap tugas tulisan. Dengan demikian, seandainya pun siswa menggunakan ChatGPT, mereka tetap harus mencari sumber kredibel yang menjadi dasar penyataan dalam tugas mereka.

  1. Menguji tulisan siswa dengan GPTZero

CBS NEWS melansir berita mengenai seorang mahasiswa Princeton University yang menciptakan sebuah aplikasi bernama GPTZero. Aplikasi ini mampu mendeteksi apakah sebuah tulisan diproduksi oleh AI atau manusia. GPTZero dapat diakses secara gratis dan mampu menganalisis hingga 5.000 karakter.

Kita bisa menggunakan aplikasi ini untuk menguji tulisan siswa. Cukup salin tulisan siswa lalu tempel di GPTZero, yang akan secara otomatis menganalisis dan memberikan hasil apakah tulisan ini dibuat oleh manusia atau kecerdasan buatan.

  1. Berikan tugas berbasis proyek (Project-Based Learning/PBL)

Berikan tugas-tugas berbasis proyek. Model pembelajaran ini dapat meminimalisir penggunaan ChatGPT, karena, meskipun output dari tugas bisa saja berupa tulisan, siswa wajib aktif terlibat dalam setiap proyek. Tak sekedar sejalan dengan Kurikulum Merdeka, PBL akan memantik kemampuan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah dalam diri siswa. Lebih seru lagi, wajibkan siswa untuk mempresentasikan hasil tugas berbasis proyek tersebut.
Yuk, terus gali cara-cara untuk bisa mengakali kecerdasan buatan, karena toh semua kecerdasan buatan itu adalah ciptaan manusia. Dengan terus berusaha untuk outskill kecerdasan buatan, kita juga mengajarkan kecerdasan berinternet untuk peserta didik dan diri kita sendiri.

Penulis: Christophorus Ardi

Artikel terkait:

Share :

Related articles