Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak RA Kartini menyuarakan emansipasi perempuan. Namun, apakah perempuan Indonesia sudah benar-benar merdeka menggunakan hak-haknya sebagai manusia?
Kata “merdeka” memiliki arti yang sangat luas. Merdeka bisa diartikan sebagai kebebasan individual dari segala belenggu yang membuat dirinya dikendalikan. Merdeka juga berarti memiliki kebebasan berpendapat tanpa takut menerima ancaman maupun diskriminasi. Merdeka juga berarti bebas menentukan masa depan tanpa harus ada paksaan dari orang lain.
Perempuan dikatakan merdeka ketika ia bisa mengambil keputusan sendiri, maupun berjuang dan membebaskan diri dari berbagai kekerasan, serta bebas berpartisipasi dalam pembangunan.
Menurut The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) perempuan memiliki hak-hak sebagai berikut:
Hak dalam bidang pekerjaan. Perempuan memiliki hak dalam kesempatan kerja yang meliputi proses seleksi, fasilitas kerja, tunjangan, hingga hak untuk menerima upah yang setara. Perempuan juga berhak untuk menerima hak cuti yang dibayarkan, termasuk cuti melahirkan. Pekerja perempuan tidak bisa diberhentikan oleh pihak pemberi kerja dengan alasan status pernikahan ataupun kehamilan.
Hak dalam bidang kesehatan. Hal ini berarti perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat melahirkan, dan hak ini harus diupayakan oleh negara. Dalam hal ini negara juga memiliki kewajiban untuk menjamin pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.
Hak dalam bidang pendidikan. Setiap perempuan memiliki hak untuk mendapatkan kesempatan pendidikan setinggi-tingginya. Juga hak untuk mengenyam pendidikan setara tanpa diskriminasi gender.
Hak dalam perkawinan dan keluarga. Dalam hal ini perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Hal tersebut termasuk bebas dari kawin paksa, dan perempuan memiliki hak yang setara dalam hal tanggung jawab suami-istri maupun orang tua-anak.
Hak dalam bidang publik dan politik. Perempuan berhak memilih dan dipilih dalam proses demokrasi, perumusan kebijakan pemerintah, hingga implementasinya.
Namun pada kenyataannya, tak sedikit perempuan yang tidak merdeka menentukan masa depannya. Bahkan dalam hal-hal mendasar, seperti menikah, berkarier, dan punya anak, perempuan tidak bisa sepenuhnya bebas memilih. Selalu ada pertanyaan, dan bahkan diskriminasi, apabila pilihannya “tidak sesuai kodrat”.
Kita masih sering mendengar kalimat, “Sehebat-hebatnya perempuan, tetap mesti bisa masak (di dapur), mengasuh dan membesarkan anak, karena itu merupakan kodrat perempuan.”
“Kodrat” perempuan masih berada dalam ranah stereotipe ‘kanca wingking’. Padahal menurut KBBI, kata kodrat memiliki kaitan terhadap kekuasan Tuhan, hukum alam, dan sifat asli atau bawaan. Memasak, mengasuh dan membesarkan anak itu bukan tugas kodrati. Setiap orang perlu punya keterampilan, dan tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Masak, mengasuh anak, melakukan pekerjaan rumah tangga adalah tugas yang bisa dilakukan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan.
Hari ini kita memperingati Hari Kartini. Mari bersama kita kembali merenungkan apa saja yang telah RA Kartini perjuangkan demi kemerdekaan perempuan. Melalui surat-suratnya yang diterbitkan menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini memperlihatkan kecerdasan, keberanian, dan kegigihannya dalam mengkritik budaya patriarki dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Kartini berupaya agar perempuan Indonesia menjadi perempuan merdeka, dan dapat menjadi apa pun yang mereka inginkan, demi kemajuan bangsa. Banyak perempuan Indonesia yang terinspirasi oleh Kartini dan melakukan perjuangan penyetaraan gender.
Mari kita peringati dan hargai jasa-jasa Kartini dengan terus memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan perempuan di Indonesia. Karena pada hakikatnya, kemerdekaan perempuan adalah kemerdekaan hak asasi manusia.
Selamat Hari Kartini!
Penulis: Ega Krisnawati
Artikel terkait: