Bahasa Ibu di Abad 21

Di tengah arus modernisasi, kita cenderung menggunakan “bahasa internasional”, yaitu bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan terkikisnya bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Namun zaman menuntut penguasaan bahasa asing untuk pergaulan global. Bagaimana menyikapi hal tersebut?

Apa itu bahasa ibu? Pemahaman yang selama ini terjadi adalah bahasa ibu identik dengan bahasa daerah, karena Indonesia terdiri dari berbagai suku dan daerah. Padahal, mengutip Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Imam Budi Utomo, konsep bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali dikenalkan, dipelajari, dan digunakan oleh anak. Indonesia memiliki 718 bahasa daerah, dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besarnya digunakan sebagai bahasa ibu. Jadi konsep bahasa ibu ini sangat personal, tergantung dari tiap keluarga di mana masing-masing anak dilahirkan dan bertumbuh.

Setiap bahasa memiliki ciri khas yang mencerminkan budaya asalnya. Bahasa Inggris, misalnya, menggunakan konsep waktu (tenses), sehingga sebagai konsep budaya, bahasa Inggris mementingkan waktu. Berbeda dengan bahasa Jawa, contohnya, yang konsep budayanya berkaitan dengan strata sosial, sehingga ketika berbicara dengan yang lebih muda, sebaya, atau lebih tua menggunakan tingkatan bahasa yang berbeda, yang memperlihatkan bagaimana hubungan seseorang dengan lawan bicaranya.

Setiap bahasa mengandung budaya, penting bagi kita untuk menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu agar tidak kehilangan jati diri dan akar budaya. Inti dari kemanusiaan adalah budaya, dan inti dari budaya adalah bahasa. Sehingga, kehilangan sebuah bahasa berarti kehilangan sebuah budaya, dan kehilangan sebuah budaya berarti kehilangan kemanusiaan. Menghilangkan bahasa daerah berarti menghilangkan warisan kemanusiaan yang terkait dengan budaya, norma, dan kearifan lokal.

Fenomena pergeseran bahasa daerah menjadi bahasa “kelas dua” disebabkan oleh konsep berpikir yang dijejali oleh berbagai informasi. Imam Budi Utomo menyatakan, terdapat sebuah penelitian tentang sikap bahasa yang menyebutkan bahwa sebagian besar generasi muda memiliki sikap positif terhadap bahasa asing dibandingkan sikap terhadap bahasa Indonesia, dan apalagi bahasa daerah. Jika generasi muda memiliki sikap negatif terhadap bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maka suatu saat bahasa-bahasa itu akan punah. Hal ini sesuai dengan prediksi UNESCO, setiap dua minggu sekali ada satu bahasa ibu yang punah, sehingga dalam waktu sekitar satu abad seluruh bahasa ibu akan punah, dan tersisa satu bahasa di dunia (monolingual).

Keberhasilan revitalisasi bahasa Ibrani di Israel, dan usaha revitalisasi bahasa Maori di Selandia Baru memberi harapan hidup untuk bahasa daerah yang terancam punah. Hal ini tergantung pada masyarakat penutur asli bahasa daerah tersebut. Di sinilah letak permasalahannya, apakah penutur asli, terutama generasi muda, mau melestarikan bahasa daerahnya itu?

Revitalisasi bahasa daerah adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah pusat sebatas memfasilitasi melalui model yang ditentukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Salah satunya adalah melalui Festival Tunas Bahasa Ibu.

Revitalisasi bahasa daerah dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi dan konsep baru, misalnya melalui konten YouTube, yang layak ditonton oleh semua umur untuk menumbuhkan sikap positif demi melanggengkan bahasa tersebut. Salah satu bentuk fasilitas berbasis teknologi yang disediakan pemerintah pusat adalah aplikasi Halo Bahasa. Intinya, untuk menimbulkan minat dan sikap positif generasi muda terhadap bahasa daerah, harus digunakan cara-cara yang kreatif dan inovatif, dan sesuai dengan gaya hidup mereka.

Namun di sisi lain, era globalisasi menuntut kita untuk mempelajari bahasa asing. Bagaimana menyikapi keadaan ini agar bahasa nasional dan bahasa daerah tidak tergerus?

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memopulerkan trimatra bahasa, yaitu:

“Utamakan bahasa Indonesia.

Lestarikan bahasa daerah.

Kuasai bahasa asing.”

Ketiganya harus dipelajari secara simultan dengan tetap memahami kedudukan dan fungsi masing-masing.

Mempelajari dan menguasai bahasa asing menghasilkan pikiran global dan relasi yang baik dengan bangsa lain, sehingga kita tidak ditinggalkan dan ditanggalkan. Namun kita tidak boleh melupakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, karena di situlah kita hidup, tumbuh dan berkembang. Bahasa adalah sebuah keterampilan, sesuatu yang harus digunakan. Jika tidak, bahasa itu akan hilang dari benak kita. 

Sebagai pendidik dan orang tua, kita harus menanamkan sikap positif terhadap bahasa nasional dan bahasa daerah dalam diri generasi muda. Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing digunakan dengan porsi yang seimbang dalam keseharian. Ketika hal tersebut dapat diterapkan, maka bukan saja keberadaan bahasa ibu yang terlestarikan, tapi juga budayanya.

Tumbuhkan kesadaran bahwa bahasa ibu merupakan warisan budaya yang harus dipelihara, dirawat, dan dikembangkan.

Untuk melihat video webinar, klik di sini.

Penulis : Astrid Prahitaningtyas

Share :

Related articles