Sumpah Pemuda: Sejarah dan Maknanya di Masa Kini

Kolonialisme dan imperialisme di Nusantara bermula dari berlabuhnya armada dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman di perairan Banten pada 27 Juni 1596, yang kemudian diikuti oleh keberhasilan ekspedisi-ekspedisi selanjutnya. Sejak saat itu, hegemoni dan wilayah jajahan Belanda terus meluas selama kurun waktu lebih dari tiga ratus tahun.

Pada awal abad ke-20, semangat nasionalisme muncul di berbagai bangsa di dunia dan menular ke para penduduk di wilayah Hindia Belanda.

Bersamaan dengan hal itu, pemerintah Belanda mulai memberlakukan kebijakan Politik Etis pada 17 September 1901 yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Hindia Belanda, di mana edukasi menjadi salah satu dari tiga program utama kebijakan tersebut. (Politik Etis: Pengertian, Latar Belakang, Tokoh, dan Tujuan).

Dalam periode yang sama, surat kabar menjadi sarana komunikasi utama dalam pergerakan untuk mencapai cita-cita perjuangan. Dimulai dengan lahirnya surat kabar Medan Prijaji pada tahun 1907 yang dibidani oleh Tirtohadisoerjo, kemudian hingga awal tahun 1920 tercatat sejumlah 400 penerbitan di banyak kota dalam wilayah Hindia Belanda. (Sekilas Sejarah Pers Nasional). 

Suburnya pertumbuhan pers saja tidak cukup, saat itu juga muncul banyak organisasi kepemudaan yang bersifat kedaerahan, yang kemudian memiliki keinginan yang sama, yaitu bersatu untuk melawan penjajahan.

Keempat faktor tersebut yang kemudian menjadi awal dimulainya era pergerakan nasional, di mana kemudian Kongres Pemuda Kedua yang dilaksanakan pada tanggal 27 – 28 Oktober 1928 menjadi tonggak utama sejarah pergerakan persatuan bangsa Indonesia.

Sumpah Pemuda, yang lahir pada hari kedua dari kongres tersebut, menjadi katalisator penegasan berdirinya negara Indonesia, di mana saat itu para pemuda melebur segala macam perbedaan, baik etnis, agama, ideologi politik dan kepentingan, serta bertekad untuk bersatu melawan penjajahan. Di hari yang sama, lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan pertama kali oleh Wage Rudolf Soepratman.

Satu dari banyak hal menarik dalam peristiwa bersejarah itu, yang di masa kini sering dilupakan, adalah peranan serta keterlibatan etnis Tionghoa di dalamnya.

Bangunan di mana Kongres Pemuda Kedua itu dilaksanakan adalah milik Sie Kong Lian, seorang pedagang kapuk. Ia menjadikan rumah tersebut sebagai tempat indekos sekaligus berkumpulnya para pemuda dari berbagai daerah untuk melakukan beragam aktivitas dan diskusi kebangsaan. Dengan mengizinkan para pemuda melakukan hal itu di rumahnya, Sie Kong Lian juga merisikokan dirinya untuk menjadi incaran para intel Belanda yang saat itu gencar mengawasi gerakan pembangkangan. (Jejak Sie Kong Liang di Rumah Jalan Kramat Raya 106).

Surat kabar Sin Po, milik Yo Kim Tjan dan yang redaksinya dipimpin oleh Ang Yan Goan, adalah satu-satunya penerbitan yang saat itu berani untuk pertama kali mempublikasikan teks dan partitur lagu “Indonesia Raya”. Yo Kim Tjan juga merupakan orang yang menyimpan dan melestarikan rekaman pertama lagu kebangsaan tersebut. (Sumpah Pemuda dan Kiprah Orang Tionghoa di Balik “Indonesia Raya”).

Tahun ini Sumpah Pemuda memasuki usianya yang ke-93, dan di usianya yang telah lanjut, ikrar persatuan negara, bangsa, dan bahasa ini menghadapi tantangan yang berbeda, yaitu di mana begitu banyak praktik diskriminasi dan intoleransi terhadap perbedaan identitas yang terjadi dalam tubuh bangsa Indonesia, baik itu agama, etnis, status sosial dan ekonomi, dan sebagainya.

Pada tahun 2018, Komnas HAM bersama Litbang Kompas mengadakan survei Potensi Diskriminasi Ras dan Etnis, di mana ditemukan bahwa tingkat segregasi sosial di masyarakat masih tinggi yang ditunjukkan dengan angka persetujuan dalam survei lebih dari 80%. Artinya, lebih dari 80% responden merasa nyaman hidup dalam situasi yang homogen, yang kemudian mengakibatkan segregasi.

Kenyamanan hidup dalam situasi yang homogen dapat disebabkan oleh dua hal berikut:

  1. Perasaan tidak aman (insecurity), karena takut menjadi korban.
  2. Untuk menunjukkan superioritas.

Hal ini menjadi sebuah keresahan tersendiri, sebuah kondisi yang harus ditangani dan diperbaiki.

Jika dikaitkan dengan Sumpah Pemuda, kita harus melihat Sumpah Pemuda sebagai kesungguhan hati orang-orang yang memiliki berbagai macam keunikan dan perbedaan untuk bertemu dan bersatu melawan penjajahan. Secara kontekstual, penjajahan di masa kini adalah cara pandang yang menganggap identitas diri dan kelompoknya lebih penting dari identitas diri dan kelompok lain, sehingga menimbulkan diskriminasi dan intoleransi. Jenis “penjajahan” seperti ini lebih sulit untuk dikalahkan dibanding dengan bentuk penjajahan pada zaman Belanda.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah konsep mengenai apa yang menjadi musuh bersama, yaitu diskriminasi dan intoleransi. Hal ini dapat dimulai dengan mengajarkan pentingnya pluralisme, pentingnya hidup dalam pergaulan dan pemahaman lintas agama, etnis, status sosial dan ekonomi, dan sebagainya.

Memang tidak mudah untuk menyatukan berbagai perbedaan identitas. Ketidakpercayaan, kecurigaan, prasangka, dan stereotipe negatif antar identitas seringkali terjadi.

Maka dari itu, kita harus mulai menanamkan benih-benih toleransi dalam diri anak didik sejak dini, sehingga mereka terbiasa untuk tidak membenci orang yang berbeda identitasnya. Mari kita mengajarkan pada anak-anak didik kita untuk tidak meruncingkan perbedaan, tetapi mengedepankan persamaan identitas dalam masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia.

Dengan semangat Sumpah Pemuda, mari kita pahami bersama-sama bahwa tidak ada peradaban yang tinggi tanpa adanya penerimaan terhadap perbedaan.

Untuk melihat video webinar klik di sini.

Penulis : Astrid Prahitaningtyas

Artikel Terkait :

Share :

Related articles