Perkawinan Anak = Kekerasan Terselubung

stop perkawinan anak

Perkawinan anak kerap dianggap sebagai bentuk perlindungan, padahal justru merupakan kekerasan yang merampas masa depan mereka. Sampai kapan kita akan membiarkannya terjadi?

Setiap 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional sebagai momentum kolektif untuk mengevaluasi sejauh mana kita telah melindungi hak anak. Tahun ini mengangkat tema Anak Hebat, Indonesia Kuat menuju Indonesia Emas 2045, dengan dua subtema penting yang perlu kita soroti lebih dalam, yaitu:

  1. Stop Perkawinan Anak: Wujudkan Impian Anak Indonesia
  2. Anak Terlindungi menuju Indonesia Emas 2045: Hentikan Kekerasan Sekarang!

Kedua isu ini tidak terpisahkan. Pernikahan anak adalah bentuk kekerasan yang komplet terhadap anak, karena mencakup kekerasan fisik, seksual, mental dan sosial yang sering kali tersembunyi di balik dalih “melindungi” atau “menyelamatkan” anak.  Untuk mewujudkan anak-anak yang hebat dan kuat, langkah pertama yang harus kita ambil adalah melindungi mereka dari pernikahan dini dan bentuk kekerasan lainnya.

Meski berbagai kampanye telah digencarkan, perkawinan anak masih menjadi masalah besar di Indonesia. Data BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 5,90% perempuan usia 20–24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Meskipun menurun, tetapi praktik pernikahan anak masih sering ditemukan, terutama di 21 provinsi yang umumnya merupakan wilayah dengan kemiskinan tinggi, pendidikan rendah, dan norma sosial yang kuat.

Banyak anggapan bahwa pernikahan anak adalah sebuah bentuk perlindungan. Padahal, pernikahan anak seringkali terjadi tanpa persiapan mental dan pemahaman, apalagi persetujuan. Hal ini bukan saja merampas hak dasar anak seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan, dan pilihan atas masa depannya, tetapi juga mengarah pada kekerasan psikologis, bentuk kekerasan yang tidak terlihat tetapi berdampak dalam dan panjang, seperti:

  1. Tekanan emosional seperti stres, depresi, akibat kehilangan kendali hidup dan peran yang tidak siap.
  2. Tekanan dari pasangan atau keluarga besar berupa kontrol berlebihan, isolasi sosial dan pemaksaan peran dalam rumah tangga.
  3. Dampak berat pada kesehatan mental misalnya anak rentan gangguan identitas, rendah diri, ide bunuh diri atau Post Traumatic Syndrome Disorder.

Rumah adalah benteng pertama dan utama dalam mencegah terjadinya pernikahan anak. Sebagai orang tua, kita dapat melakukan langkah konkret seperti:

  1. Memberi edukasi tentang risiko dan konsekuensi pernikahan dini.
  2. Membantu anak membangun nilai diri dan etika, sehingga anak lebih selektif dalam membuat keputusan termasuk mengenali tubuh, batasan, dan relasi sehat sejak dini.
  3. Membangun komunikasi yang terbuka agar anak nyaman berbicara masalah pribadi.
  4. Memberikan dukungan emosional pada anak.
  5. Memberi dukungan finansial untuk pendidikan.
  6. Menjadikan pengalaman orang tua sebagai contoh, bukan pembenaran.

Sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang pembentukan karakter dan nilai-nilai kehidupan. Dalam konteks pencegahan pernikahan anak, sekolah memainkan peran strategis sebagai agen perubahan yang berorientasi pada pendidikan, perlindungan, dan pemberdayaan anak berupa:

  1. Mengintegrasikan isu kesehatan reproduksi dan nilai-nilai kedewasaan dalam pelajaran agama, PPKn, dan budi pekerti.
  2. Penyuluhan bahaya pernikahan anak yang melibatkan tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat.
  3. Penguatan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler dan pelatihan life skills. 
  4. Menjalin komunikasi aktif dengan orang tua dan edukasi pola asuh (parenting) untuk menyamakan persepsi tentang pentingnya menunda pernikahan anak.
  5. Identifikasi dini dan pendampingan psikososial bagi siswa berisiko mengalami pernikahan dini melalui peran guru BK dan layanan konseling.

Pencegahan kekerasan dan pernikahan anak tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemangku kebijakan memiliki tanggung jawab untuk menolak segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk yang dibungkus atas nama budaya, ekonomi, atau bahkan agama.

Pernikahan anak bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai jiwa mereka. Disadari atau tidak, hal ini sudah terlalu lama dinormalisasi di negara kita. Dan selama membiarkan hal itu terjadi, sesungguhnya kita telah gagal melindungi anak-anak, dan dampak jangka panjangnya adalah kita juga akan gagal mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.

Maka di Hari Anak Nasional ini, mari kita berkontemplasi: “Apakah saya benar-benar melindungi anak saya, atau justru mengendalikan mereka?” Anak-anak hebat lahir dari rumah yang aman dan sekolah yang mendukung. Mereka tumbuh kuat karena dihargai, bukan karena ditekan.

Stop perkawinan anak. Hentikan kekerasan. Mari wujudkan Indonesia yang benar-benar layak dan aman bagi setiap anak.

Penulis: Yanti Damayanti

Editor: Astrid Prahitaningtyas

Artikel terkait:

Share :

Related articles