Bangkitkan Generasi Emas, Bukan Generasi Cemas

Kita memperingati Harkitnas setiap tanggal 20 Mei. Tahun ini, kita harus bangkit dari krisis multidimensi demi  mempersiapkan Generasi Emas. Bagaimana caranya?

Setiap tanggal 20 Mei, Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) untuk meneladani tujuan Budi Utomo yang berdiri 1908 sebagai organisasi pergerakan pertama di Indonesia. Menurut KBBI, definisi kata bangkit adalah bangun (dari tidur, duduk) lalu berdiri, sehingga tujuan Harkitnas adalah membangkitkan semangat dan kesadaran masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Dengan kesadaran yang sama, saat ini kita harus bangkit untuk menghadapi krisis multidimensi yang sedang terjadi, antara lain:

  • Krisis politik: polarisasi politik menjelang Pemilu terus berlanjut sampai sampai terjadinya penurunan nilai-nilai demokrasi.
  • Krisis ekonomi: merosotnya kesejahteraan masyarakat, menurunnya kelas menengah, sulitnya lapangan kerja, nilai rupiah yang anjlok.
  • Krisis ekologi: hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia terus mengalami deforestasi dalam skala besar dan menjadi ancaman berupa rusaknya habitat satwa liar, degradasi lahan, dan perubahan iklim semakin tidak terkendali.

Pembangunan SDM berkualitas menjadi fondasi utama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 seperti yang diamanatkan dalam RPJMN 2020–2024. Di tengah krisis yang menguji ketahanan bangsa, seluruh elemen masyarakat harus bersatu untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia dengan lebih serius.

Kita tidak boleh membiarkan situasi penuh ketidakpastian ini menimbulkan ketakutan, kegelisahan, atau kecemasan pada penerus bangsa. Sebaliknya, bersama-sama kita tumbuhkan optimisme, membangun kompetensi, dan menanamkan karakter kuat sehingga mereka menjadi pribadi tangguh, mampu beradaptasi menghadapi pesatnya perkembangan zaman yang membawa banyak perubahan.

Tantangan Generasi Muda di Era Digital

Data ini menunjukkan 15,5 juta remaja usia 10-17 tahun di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental akibat mengakses media sosial berlebihan, seperti:

  • Tekanan standar media sosial sehingga harus tampil sempurna atau memiliki pencapaian tinggi.
  • Cyberbullying yaitu perundungan di dunia maya.
  • Fear of Missing Out (FOMO) karena rasa takut ketinggalan tren.
  • Stres akibat informasi berlebihan akibat mengkonsumsi berita dan konten negatif terus-menerus.
  • Krisis Identitas dan Jati Diri akibat pembentukan citra diri berupa likes atau followers atau membandingkan diri dengan yang dilihat di media sosial.

Menurut data, 54,1% pengguna internet di Indonesia berusia 18-34 tahun, 81% mengakses setiap hari dengan durasi rata-rata 3 jam 14 menit. Tanpa pengendalian dan pembatasan hal ini dapat mengakibatkan:

  • Adiksi media sosial dan game online.
  • Menurunnya kemampuan face-to-face interaction akibat koneksi yang terbentuk lebih sering secara virtual.

3.  Tantangan dalam Pendidikan dan Karier

Teknologi membuat banyak pekerjaan menjadi mudah, tetapi jika kecepatan perkembangannya tidak diimbangi oleh kemampuan dan keahlian dapat menimbulkan masalah, seperti:

  • Skill gap antara pendidikan formal dan kebutuhan dunia kerja yang mengakibatkan sulitnya mendapat pekerjaan yang sesuai.
  • Kebutuhan untuk terus belajar mandiri (lifelong learning), tidak semua orang bisa melakukannya sebab belajar memerlukan motivasi dan kesadaran diri yang tinggi.

Tekanan-tekanan tersebut dapat menimbulkan perasaan tidak aman, stres, bahkan kecemasan. Tanpa kesiapan mental dan karakter yang kuat, inilah bentuk nyata dari lahirnya generasi cemas—generasi yang merasa tidak pernah cukup, selalu khawatir gagal, dan kehilangan arah di tengah dunia yang terus berubah.

Menuju Generasi Emas 2045

Seluruh lapisan masyarakat adalah pemangku kepentingan dalam pembentukan Generasi Emas. Kita, orang dewasa di masa kini, memiliki peran penting dalam menciptakan generasi muda yang berkualitas, produktif, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Orang tua adalah pendidik pertama anak-anak, sehingga memiliki peran krusial dalam membentuk fondasi mereka memahami nilai-nilai, serta sikap dan kebiasaan. Selain keluarga, ada sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang membimbing anak-anak. Sayangnya, banyak orang tua yang tidak memahami peran krusial ini, dan lebih banyak menyerahkan tanggung jawab pendidikan sepenuhnya kepada sekolah. Padahal, anak-anak menghabiskan waktu lebih banyak di rumah daripada di ruang kelas.

  • Makan Bergizi Gratis (MBG), untuk pemenuhan gizi anak sebagai upaya meningkatkan kualitas kesehatan dan kecerdasan generasi muda. 
  • Menciptakan ruang digital yang aman bagi anak-anak dengan menetapkan regulasi dan bekerja sama dengan platform digital utama untuk melindungi generasi muda dari konten yang merugikan.
  • Gerakan 7 Kebiasaan Anak Hebat untuk membentuk karakter sejak dini, sebagai bagian dari upaya membangun SDM unggul.
  • Gerakan Nasional Literasi Digital untuk meningkatkan kecakapan digital masyarakat, khususnya generasi muda, agar mampu menghadapi tantangan di era digital.

Kunci untuk menghadapi tantangan global adalah kolaborasi. Semua elemen bangsa harus bersinergi menciptakan lingkungan yang kondusif untuk inovasi, investasi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan yang akan mengikis rasa cemas dalam diri generasi muda. Sehingga, mereka semangat menyongsong masa depan sebagai generasi emas, penerus cita-cita bangsa.

Generasi Emas dapat terwujud apabila semua pihak menjalankan perannya. Untuk itu, REFO mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berkolaborasi menjadikan anak-anak ini sebagai generasi yang, tak hanya sekadar siap, tetapi berdaya dalam menghadapi peradaban baru. Mempersiapkan anak zaman now untuk menghadapi masa depan membutuhkan lebih dari sekadar AI atau literasi digital. Generasi mendatang membutuhkan keterampilan penting serta ketahanan psikologis untuk benar-benar berkembang di dunia yang digerakkan oleh AI.

Mari bergabung dengan Indonesia Future of Learning Summit (IFLS) 2025 dengan tema “AI-ducated: Unlocking The Future with AI Skills and Beyond”, yang mengajak kita semua untuk tetap terinformasi, beradaptasi dengan percaya diri, dan membuat pilihan-pilihan yang tak hanya fokus pada perkembangan teknologi, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan psikologis generasi muda ini.

Ingin tahu lebih lanjut tentang IFLS 2025? Hubungi REFO di nomor ini, ya.

Penulis: Yanti Damayanti

Editor: Astrid Prahitaningtyas

Artikel terkait:

Share :

Related articles