Perkembangan AI yang pesat menjadi tantangan bagi kebiasaan membaca buku. Apakah AI dapat menjembatani dunia literasi agar lebih inklusif? Atau justru menggerus minat baca?
Setiap 23 April, dunia merayakan World Book and Copyright Day untuk menghargai buku, penulis, penerbitan dan hak cipta, serta mendorong akses dan minat baca. Namun, di tengah kemajuan teknologi seperti AI, yang menjanjikan kecanggihan dan efisiensi, muncul kekhawatiran akan menurunnya minat membaca secara mendalam.
Pesatnya perkembangan AI membawa kita kepada hal-hal yang bersifat instan. Dari menerjemahkan bahasa, memperoleh informasi, membuat tulisan (baik fiksi maupun ilmiah), dan masih banyak lagi. Jika demikian, apakah AI akan memperkaya atau menggeser budaya membaca buku? Simak uraian berikut.
Perkembangan AI dalam Dunia Literasi
Mengutip New York Times, AI telah memasuki dunia literasi yang melibatkan penulis, editor, penerjemah, dan penerbit. Teknologi ini tidak hanya dapat menulis sesuai permintaan pengguna, tetapi juga melakukan penyuntingan, dan bahkan penerjemahan.
Sebelum hadirnya AI, teknologi sudah memengaruhi literasi dengan mengubah buku fisik menjadi e-book. Kini, AI memungkinkan e-book diubah menjadi audiobook dan merangkum isi buku, sehingga kita cukup mendengarkan isi atau ringkasan buku tersebut tanpa perlu membacanya.
Tidak berhenti di situ, karena AI dapat membantu kita untuk mendapatkan segala sesuatu secara instan, maka tak heran jika di zaman yang menuntut serba cepat ini kita akan memilih cara terkilat untuk memperoleh apa pun yang kita butuhkan. Itulah sebabnya, platform atau aplikasi bertenaga AI semakin diminati.
Janji Futuristik: Peluang AI dalam Mendorong Minat Baca
Jurnal ini menyatakan bahwa pemanfaatan AI dalam dunia literasi dapat meningkatkan minat baca melalui personalisasi berdasarkan riwayat sebelumnya, di mana pengguna menjelajahi bacaan sesuai minat. Ini seperti seperti halnya algoritma pada platform video. Manfaat personalisasi bacaan pada anak antara lain menambah kosakata, menumbuhkan kreativitas dan kecintaan pada buku selamanya.
Bagi difabel, terutama tunanetra, AI memudahkan mereka untuk mengetahui isi bacaan melalui audiobook. Dengan demikian penyandang difabel tidak lagi menjadi kelompok yang terpinggirkan karena terbukanya akses inklusif untuk mereka.
Mengutip artikel “AI and Reading”, AI dapat menjadi pemandu literasi di era digital. Kegiatan membaca dibagi dalam tiga tahapan, yaitu sebelum, saat, dan setelah membaca. Pada setiap tahap tersebut, AI dapat memberikan petunjuk dan menjadi “teman berdialog” dalam membahas isi bacaan. Ketika percakapan itu dianggap menyenangkan, kegiatan itu akan diulang dengan materi bacaan yang berbeda, ini berarti kita akan membaca lebih banyak.
AI tidak akan menggantikan penulis, tetapi lebih sebagai alat kolaboratif. Penulis dapat melakukan curah ide dan menemukan hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Hal ini akan menghasilkan sebuah karya tulis yang lebih mendalam dengan gaya dan karakter penulisnya.
Tantangan yang Muncul
AI memang memberikan berbagai kemudahan dan manfaat, tetapi muncul pula tantangan tersendiri dalam dunia literasi, yaitu:
- Menurunnya konsentrasi. Membaca merupakan proses memahami sehingga memerlukan konsentrasi dan ketekunan terlebih jika bacaan tersebut panjang.
- Ketergantungan. AI dapat memberikan ringkasan isi buku, kemudahan ini menjadi jebakan jika selalu menggunakan alat untuk menyederhanakan isi buku tanpa membacanya secara utuh.
- Isu hak cipta menjadi perhatian para penulis. AI dapat membuat karya literasi tanpa memperhatikan etika adalah ancaman terhadap orisinalitas.
Meskipun AI dapat membantu dalam proses pembelajaran, tetapi berisiko terjadinya “pencurian” karya dapat terjadi dengan mudah dan kebiasaan membaca bisa jadi meluntur.
Menjaga Keseimbangan: Buku, AI, dan Pembaca
Untuk menjawab tantangan yang ada perlu kerja sama dari berbagai pihak, tujuannya agar terciptanya keseimbangan antara buku, penggunaan AI, dan pembaca. Oleh karena itu, tindakan yang dapat dilakukan adalah:
- Membentuk budaya membaca secara sehat sejak dini. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan buku fisik dan membiasakan kegiatan membaca baik di sekolah maupun di rumah.
- Kolaborasi kreatif. Menjadikan AI hanya sebagai alat bantu, bukan untuk menggantikan proses penulisan.
- Adanya regulasi. Perlu adanya kebijakan dan regulasi yang tidak hanya melindungi hak cipta kepenulisan, tetapi juga menetapkan etika dalam bidang literasi.
Dengan demikian, perlu kesadaran bersama bahwa AI hanyalah sebuah alat bantu, bukan pengganti kemampuan berpikir manusia. Lahirnya teknologi baru dimanfaatkan sebagai faktor yang dapat memperkuat budaya literasi dengan menjaga orisinalitas dan hak cipta penulisnya. Mari selalu membaca dengan memanfaatkan teknologi secara bijak.
Untuk itu, REFO kembali menggelar Indonesia Future of Learning Summit (IFLS) 2025 dengan tema “AI-ducated: Unlocking The Future with AI Skills and Beyond”, yang mengajak pendidik, orang tua, dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia untuk merangkul AI, bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai kekuatan transformatif yang harus dimanfaatkan untuk tujuan baik, penuh tanggung jawab dan empati.
Kita bertanggung jawab untuk mempersiapkan anak-anak hari ini menghadapi dunia masa depan. Literasi AI dan digital memang penting, tetapi anak-anak ini—generasi pemimpin, pemikir, dan inovator masa depan—berhak mendapatkan lebih dari itu. Mereka perlu menguasai keterampilan-keterampilan kunci yang penting agar mereka mampu berkembang pesat—dan bukan hanya bertahan—di dunia yang digerakkan oleh AI.
Mari berkolaborasi untuk berjuang di antara janji futuristik dan tantangan masa kini.
Penulis: Yanti Damayanti
Editor: Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait: