Indonesia terdiri atas berbagai suku dan budaya. Terdapat lebih dari 700 bahasa daerah tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini menjadi tantangan dalam proses pembelajaran. Bagaimana mengimplementasikan pembelajaran multibahasa berbasis bahasa ibu?
Bahasa sangat penting untuk pendidikan dan pembangunan berkelanjutan, berfungsi sebagai sarana utama untuk mentransfer pengetahuan dan melestarikan budaya. Indonesia adalah negara yang sangat besar, terdiri atas lebih dari 17.000 pulau dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa. Sebagai negara multiras, multietnis, dan multikultural, Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah, dengan satu bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.
Melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019 Pasal 29 Ayat 1 pemerintah telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama pendidikan nasional. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesetaraan akses terhadap pendidikan dan memperkuat identitas nasional. Bahasa Indonesia mampu menjadi penghela pengetahuan dan sebagai sarana pembentukan kepribadian dan pengembangan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual bagi siswa. Keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama dalam pendidikan akan mendorong terciptanya pendidikan yang inklusif dan merata. Kualitas siswa di seluruh Indonesia dapat terukur dan tidak terjadi gap yang terlalu jauh. Dengan bahasa Indonesia, cakupan komunikasi juga lebih luas, tidak terbatas wilayah tertentu.
Namun, bagi anak-anak yang tumbuh dengan bahasa daerah sebagai bahasa ibu (selanjutnya secara bergantian disebut sebagai bahasa daerah atau bahasa ibu) yang bukan bahasa Indonesia–biasanya daerah-daerah di luar wilayah aglomerasi Jakarta, transisi ke bahasa lain dalam pembelajaran menjadi tantangan tersendiri. Mereka, yang tumbuh dan menggunakan bahasa ibu dalam keseharian, menghadapi kesulitan saat harus “mengunyah” materi pelajaran yang disampaikan menggunakan bahasa Indonesia.
Berdasarkan hasil asesmen PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022, skor literasi siswa Indonesia bahkan menurun akibat pandemi. Walau secara peringkat meningkat, skor Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara lain. Banyak faktor yang memengaruhi hal ini, salah satunya adalah ketimpangan kecakapan bahasa. Di banyak wilayah, kondisi ini berarti bahwa anak-anak tidak menguasai bahasa Indonesia, karena bahasa daerah yang menjadi bahasa utama.
Fenomena tersebut membuka mata kita bahwa menjadi negara multiras, multietnis, dan multikultural dengan begitu banyak bahasa daerah membutuhkan strategi pendidikan yang komprehensif. Kita perlu memikirkan cara penyampaian ilmu kepada siswa di daerah, agar mereka mendapatkan pengetahuan yang setara dengan siswa di kota-kota besar. Bahasa ibu menjadi penting untuk dikaji peran dan manfaatnya bagi sistem pendidikan di Indonesia agar setiap anak bisa mengakses pendidikan dalam bahasa yang mereka pahami. Hal ini tidak berarti meninggalkan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sebaliknya, penggunaan bahasa ibu untuk memastikan anak-anak mengerti apa yang diajarkan di dalam kelas merupakan proses yang juga akan membantu mereka menguasai bahasa lainnya, dalam hal ini bahasa Indonesia.
Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 Pasal 23 Ayat 2 telah memberikan solusi di mana penggunaan bahasa daerah diperbolehkan sebagai bahasa pengantar pendidikan, terutama di tingkat awal sekolah dasar, untuk memudahkan proses pembelajaran. Sebuah makalah yang diterbitkan oleh UNESCO juga menyatakan pentingnya penggunaan bahasa ibu di awal usia sekolah. Makalah ini menyebutkan temuan Blankenbeckler (2020) mengenai penggunaan bahasa ibu sebagai medium instruksi dan pengajaran yang memberikan dampak positif signifikan pada kualitas pendidikan dan pertumbuhan akademis siswa.
Praktik pembelajaran multibahasa berbasis bahasa ibu sebenarnya bukanlah praktik baru. Sebuah studi etnografi di Bali di era 1980-an menemukan bahwa sebagian besar pelajaran di kelas 1 dan 2, kecuali pelajaran Bahasa Indonesia, diajarkan dengan menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Bali. Secara bertahap siswa mempelajari bahasa Indonesia dan di akhir kelas 3, semua pelajaran disampaikan dalam bahasa Indonesia, kecuali pelajaran bahasa Bali. Provinsi Papua juga telah menerapkan hal ini, melalui PERDASUS Provinsi Papua Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pelayanan Pendidikan bagi Komunitas Adat Terpencil (KAT) Pasal 22 Ayat 2 menyatakan dalam hal bahasa Indonesia belum dapat dipergunakan sebagai bahasa pengantar, penyelenggaraan pendidikan dapat menggunakan bahasa daerah setempat sebagai bahasa pengantar.
Meskipun demikian, implementasinya di lapangan ternyata tidak mudah. Banyak yang “tertatih-tatih” menjalankan strategi ini karena menemukan beberapa hal yang menghambat kelancaran proses pembelajaran menggunakan bahasa daerah.
- Beban akademik guru makin tinggi. Guru tidak hanya mendapatkan tugas untuk menyampaikan ilmu, tetapi juga memikirkan model ajar yang paling tepat untuk menyampaikan ilmu tersebut ke dalam bahasa daerah.
- Latar budaya guru yang belum tentu sama dengan daerah tempatnya mengajar. Ketika seorang guru tidak berbahasa ibu yang sama dengan siswa-siswa di sebuah daerah, proses KBM menggunakan bahasa setempat tidak dapat direalisasikan.
- Kurangnya materi ajar dalam bahasa daerah setempat karena kebanyakan materi ajar diberikan secara terpusat yang hampir seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia.
Untuk menangani hambatan tersebut, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, antara lain:
- Sekolah memberikan fasilitas guru pendamping jika guru kelas tidak menguasai bahasa daerah dan pelatihan khusus bagi guru kelas kecil agar mereka lebih siap memberikan pengajaran menggunakan bahasa daerah.
- Guru harus terus proaktif untuk belajar mandiri, aktif bertanya, dan mengeksplorasi berbagai variasi sarana ajar. Contohnya, saat mengajarkan bahasa Indonesia kepada kelas kecil, guru mengidentifikasi kata-kata dalam bahasa Indonesia yang sulit dipahami oleh siswa menjadi berbagai media menarik dan interaktif, seperti ungkapan, lagu, sapaan, dan lain sebagainya. Guru juga berusaha memberikan pengalaman belajar bahasa yang menyenangkan, misalnya menggunakan gambar dan simbol.
- Kepala sekolah perlu melakukan tinjauan ulang perihal penempatan guru kelas di tiap level yang dapat mengoptimalkan proses pembelajaran dalam bahasa ibu dan transisi ke dalam bahasa Indonesia.
- Sekolah perlu menyediakan materi-materi di luar kurikulum yang mendukung pembelajaran multibahasa berbasis bahasa ibu, seperti buku-buku bacaan, dan lainnya.
- Pemerintah harus memberikan pedoman khusus pendidikan mengenai tata cara membuat rencana pembelajaran, pengaplikasiannya, proses penilaian, serta menyediakan sumber belajar berbahasa ibu. Pemerintah juga dapat membuat pedoman yang digunakan secara seragam di seluruh negeri yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah.
- Baik pemerintah maupun sekolah dapat melibatkan pihak lain dalam menyukseskan hal ini. Misalnya bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk rutin melakukan riset pengembangan ortografi bagi bahasa ibu yang belum memiliki simbol tulis agar dapat digunakan untuk belajar di sekolah.
Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional mengajak kita untuk melindungi keanekaragaman bahasa. Dengan implikasinya yang kompleks terhadap identitas, komunikasi, integrasi sosial, pendidikan, dan pembangunan, bahasa ibu memiliki arti penting yang strategis bagi manusia. Namun, karena proses globalisasi, bahasa-bahasa tersebut semakin terancam, atau bahkan hilang sama sekali. Ketika bahasa daerah memudar, kesempatan, tradisi, ingatan, cara berpikir dan ekspresi yang unik -sumber daya yang berharga untuk memastikan masa depan yang lebih baik- juga akan hilang.
Melihat kondisi Indonesia yang begitu kaya akan bahasa, pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu tidak dapat dihindari, tetapi justru perlu digalakkan. Mari bersama-sama kita berkontemplasi, sejauh mana pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu telah terfasilitasi di Indonesia? Apa yang perlu dikembangkan dan disempurnakan agar bahasa ibu tetap lestari? Harapannya, seluruh pihak terkait dapat bekerja sama dalam menyelenggarakan pendidikan yang inklusif dan adil bagi seluruh anak Indonesia.
Penulis: Diah Lucky Natalia
Editor: Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait: