Bahasa Ibu sebagai Jati Diri Bangsa

bahasa ibu

Penggunaan bahasa asing dalam keluarga sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, terlebih di kota-kota besar. Bagaimana hal ini mempengaruhi keberadaan bahasa ibu?

Bahasa asing, terutama bahasa Inggris, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bukan hanya di ranah profesional maupun pendidikan formal, tetapi juga dalam ruang domestik, seperti keluarga. Anak, yang lahir dari keluarga asli Indonesia pun, banyak yang lebih familier dengan bahasa asing ketimbang bahasa ibunya. Bisa jadi ini disebabkan oleh kekhawatiran orang tua kalau anaknya akan tertinggal dalam kemampuan berbahasa asing, yang akan berpengaruh terhadap kemampuannya bersaing di masa depan.

Orang tua memperkenalkan bahasa asing kepada anak sejak usia dini, dengan berbagai cara. Dari membacakan buku-buku berbahasa asing, mengikutkan anaknya kelas bahasa asing, hingga memberikan screen time dengan menyajikan konten berbahasa asing. Orang tua juga membiasakan anak untuk berkomunikasi di rumah dalam bahasa asing. 

Globalisasi membawa kita pada perkembangan dunia, tetapi dengan konsekuensi. Kemajuan zaman yang pesat “menyedot” kita ke dalam modernisasi. Dunia Barat dilihat sebagai dunia yang maju dan lebih modern sehingga dijadikan kiblat. Begitu pula bahasanya, dianggap lebih baik dan “tinggi kastanya” ketimbang bahasa Indonesia. Dampaknya, sekolah yang menawarkan pembelajaran bilingual (bahkan tirilingual) pun semakin populer. Pola asuh seperti ini membuat anak-anak kita kian jauh dari bahasa ibu. Padahal, bahasa merupakan jati diri sebuah bangsa

Apa kaitan antara bahasa ibu dengan identitas bangsa? Mari kita tengok ke belakang, di masa penjajahan oleh bangsa asing selama ratusan tahun. Saat itu, kita belum menjadi sebuah negara. Kita terpecah-pecah ke dalam beragam etnis, budaya, dan bahasa. Lalu dalam perjalanan memperjuangkan kemerdekaan, pemuda Indonesia berinisiatif untuk membentuk satu identitas yang mempersatukan seluruh perbedaan tersebut, hingga terlaksanalah Kongres Pemuda Kedua pada 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda, di mana mereka berikrar untuk mengaku bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung satu bahasa persatuan. Pada momen itulah, identitas kita sebagai bangsa terbentuk, yaitu Indonesia.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi alat komunikasi. Fungsinya jadi lebih kompleks, yaitu sebagai sarana penyampaian ideologi yang terejawantah dalam bentuk karya sastra. Bahasa dapat dipelajari melalui karya sastra, yang sarat dengan kandungan pemikiran dan ideologi. Dua unsur yang kemudian dianggap sebagai jati diri suatu bangsa. Dalam hubungan antarbangsa, identitas menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan eksistensi suatu bangsa dalam konteks global. Kepentingan identitas menjadi utama, jika kita ingin menunjukkan diri sebagai bangsa dalam gempuran globalisasi.

Kembali ke pola asuh kita dalam hal berbahasa, wajar jika kita menginginkan anak memiliki daya saing dalam globalisasi dan modernisasi. Anak perlu hidup di “zamannya” sehingga kita perlu memperlengkapi mereka dengan keterampilan-keterampilan yang akan menunjang hidupnya di masa mendatang. Namun, kita perlu pahami bahwa berusaha mengejar globalisasi bukan berarti meninggalkan identitas bangsa.

Bahasa ibu menjadi penting untuk memperkuat identitas anak sebagai generasi muda Indonesia. Saat anak-anak terbiasa berkomunikasi dan membaca dalam bahasa ibu (bahasa daerah maupun Indonesia), mereka mendapatkan wawasan kebudayaan, nilai-nilai, dan kearifan lokal. Anak juga akan mengembangkan kepekaan dan keterhubungan dengan akar budayanya. Mereka memahami tradisi yang diteruskan lintas generasi dan menghargai nilai-nilai yang dianut bangsanya.

Biarlah identitas bangsa yang termanifestasi dalam bahasa, nilai-nilai, serta cara pandang hidup itu tetap tinggal dalam diri anak-anak Indonesia. Di mana pun kelak mereka berada, biarlah identitas Indonesia yang selalu mereka tegakkan. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah goyah dan terbawa arus pergaulan “modern” yang tak terbendung.

Hal ini sejalan dengan agenda UNESCO dalam perayaan International Mother Language Day 2024, yang mengusung tema “Multilingual education is a pillar of learning and intergenerational learning”. UNESCO menyatakan bahwa saat ini, 40% populasi dunia tidak memiliki akses terhadap pendidikan dalam bahasa asli mereka. Bahkan di beberapa negara, angkanya meningkat menjadi menjadi 90%. Sementara itu, pendidikan multibahasa akan meningkatkan mutu pembelaran.

UNESCO menegaskan bahwa penggunaan bahasa asli meningkatkan pemahaman dan interaksi peserta didik, mengembangkan pemikiran kritis, memperkuat kepercayaan dan harga diri, serta memantik partisipasi aktif. Juga membuka pintu pembelajaran antargenerasi, revitalisasi bahasa, serta pelestarian budaya dan warisan tak benda.

Untuk itu, mari kibarkan Trimatra Bahasa yang dipopulerkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yaitu “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”. Sembari mengajarkan anak untuk berbahasa asing atau internasional, tanamkan dalam diri mereka pentingnya mengutamakan bahasa Indonesia dan melestarikan bahasa daerah.

Banggalah dengan bahasa asli yang telah diturunkan lintas generasi. Kokohkan identitas keindonesiaan dalam diri anak-anak kita, sehingga ke mana pun mereka pergi nantinya, dengan bangga mereka akan mengatakan, “Saya orang Indonesia!”.

Penulis: Lucky Diah Natalia

Artikel terkait:

Share :

Related articles