Guru adalah profesi yang mulia, tetapi pesatnya perkembangan teknologi digital semakin menggerus minat generasi muda untuk menjadi guru. Apa dampaknya dan apa yang bisa kita lakukan?
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, kita menyaksikan berbagai profesi mulai tergantikan oleh AI; dari kasir, penerjemah, desainer grafis, hingga analis data. Kemampuan AI untuk mengotomatisasi pekerjaan rutin terasa semakin mengkhawatirkan. Ada kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan pekerjaan manusia. AI, yang bekerja secara otomatis, telah menyediakan berbagai alat bimbingan belajar. Dengan demikian, akankah profesi guru tergantikan oleh AI?
Faktanya, World Economic Forum menyatakan bahwa seiring dengan semakin terintegrasinya teknologi ke dalam sistem pendidikan, guru harus menjadi pusat pembicaraan seputar AI. Pendidikan adalah tempat di mana kita membangun masyarakat dan membangun demokrasi. Pendidikan adalah sarana di mana kita merajut narasi tentang siapa kita dan, yang lebih penting lagi, menjadi siapakah kita di masa mendatang. Para guru adalah orang-orang yang merajutnya. Artinya, teknologi memang dapat meningkatkan hasil pembelajaran, memberdayakan guru, dan membekali siswa dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk pekerjaan di masa depan. Namun, teknologi tidak dapat membangun hati dan budi pekerti.
Seorang guru bukan sekadar penyampai informasi atau pengajar materi, melainkan sosok pembimbing yang membentuk karakter, menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, dan menyalakan semangat belajar dalam diri setiap peserta didik. Kemampuan untuk berempati, memahami keunikan setiap siswa, dan membimbing murid menemukan potensi terbaik mereka adalah kualitas yang tidak bisa digantikan oleh algoritma mana pun.
Sayangnya, pada tahun 2024 lalu, Indonesia kekurangan sebanyak 1,3 juta guru, dan secara umum, animo orang Indonesia dan, khususnya, generasi muda untuk menjadi guru pun menurun. Persoalan kekurangan guru tidak hanya terjadi di Indonesia. Laporan UNESCO tahun 2024 menyatakan bahwa kekurangan guru merupakan masalah global. Pada tahun 2030 diperkirakan kebutuhan guru baru untuk sekolah dasar dan menengah di dunia mencapai 44 juta orang.
Kekurangan guru adalah krisis yang merongrong sistem pendidikan. Dampak dari kekurangan guru di seluruh dunia sangat besar, utamanya adalah menurunnya kualitas pendidikan. Dalam konteks Indonesia, jumlah guru yang tidak sepadan dengan jumlah murid akan menyebabkan kekurangan guru di beberapa daerah. Kesenjangan mutu pendidikan antara kota dan desa pun akan semakin lebar, dan akan semakin sulit memeratakan pendidikan ke seluruh Indonesia karena sedikitnya jumlah guru yang berminat mengajar di daerah 3T.
Bagaimana meningkatkan minat generasi muda untuk menjadi guru, sehingga profesi ini tak tergerus oleh zaman? Anak-anak ini perlu memiliki teladan guru yang bisa menginspirasi mereka serta memahami mulianya profesi guru.
Guru adalah arsitek manusia. Tak sedikit yang masih mengingat bagaimana guru sekolahnya dahulu membantu mereka menjadi pribadi yang positif saat dewasa. Tak sedikit pula yang memilih profesi guru karena melihat teladan dari gurunya. Contohnya adalah Maria Debora Siagian, yang terinspirasi oleh guru biologinya saat SMP, yang mengenalkan konsep belajar sambil bermain, dan guru SMA-nya yang tetap memilih untuk mengabdi di daerahnya walaupun mampu menjadi dosen.
Akan lebih menarik lagi jika sekolah SMP-SMA juga memiliki program Guru Muda yang mengajak siswanya menjadi guru bagi adik-adik kelasnya yang perlu mentor belajar. Cara ini tidak hanya meringankan beban guru untuk membantu anak-anak yang tertinggal secara akademis, tetapi juga memperkenalkan profesi guru sejak dini.
AI memang akan segera menjadi bagian besar dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan. Namun, profesi guru tidak akan tergantikan, karena hati dan akhlak bukanlah sesuatu yang bisa disentuh oleh robot. AI tidak akan dapat menggantikan sentuhan kemanusiaan dan hubungan antarmanusia. Guru tetap akan terus dibutuhkan untuk mempersiapkan generasi muda yang holistik.
Yuk, semangat jadi guru!
Penulis: Dania Ciptadi
Editor: Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait: