UNESCO mengusung tema “Mentransformasi Ruang Belajar Literasi” pada peringatan Hari Literasi Internasional tahun 2022 ini. Apa itu literasi? Mengapa transformasi ruang belajar literasi penting? Dan bagaimana penerapannya? Yuk, simak artikel ini.
8 September diperingati sebagai Hari Literasi Internasional. Pertama kali dicanangkan oleh UNESCO tahun 1966 sebagai peringatan akan pentingnya literasi bagi setiap individu, komunitas, dan masyarakat, juga perlunya usaha intensif menuju masyarakat yang melek huruf.
Apa itu literasi?
Secara harfiah, literasi berarti kemampuan menulis dan membaca. Namun secara komprehensif, UNESCO mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi, dan menghitung dengan berbagai konteks. Literasi melibatkan rangkaian pembelajaran yang menghasilkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan nyata bagi seseorang, sehingga ia mampu berkomunikasi secara efektif untuk dapat mencapai tujuannya, mengembangkan pengetahuan dan potensinya, serta berpartisipasi dalam komunitas dan masyarakat.
Jauh berkembang dari awal pencanangannya yang hanya untuk memperingati pentingnya melek huruf, pada peringatan HLI tahun 2022 ini UNESCO mengusung tema “Mentransformasi Ruang Belajar Literasi”. Tema tersebut diangkat dengan pertimbangan bahwa kejadian dalam ruang global telah memengaruhi proses belajar-mengajar.
Contohnya adalah di mana pandemi telah mengubah wajah dunia pendidikan. Proses belajar-mengajar tak lagi terbatas pada bangunan sekolah dan ruang kelas konvensional. Hampir semua negara mengambil keputusan yang universal, yaitu beralih ke ruang belajar digital, baik secara keseluruhan maupun parsial.
Mengapa transformasi ruang belajar literasi penting?
Di Indonesia, saat ini hampir seluruh sekolah dan perguruan tinggi sudah kembali menerapkan pembelajaran tatap muka, meski pandemi belum selesai. Bahkan WHO menyatakan bahwa pandemi jauh dari berakhir (8 Agustus 2022).
Di sinilah transformasi ruang belajar literasi menjadi penting. Ruang belajar tak lagi terbatas pada bangunan sekolah dan ruang kelas tradisional. Dengan menggunakan internet, rangkaian dan proses pembelajaran bisa terjadi di mana saja. Ini adalah hal yang baik, dan kita harus mampu beradaptasi dengan situasi normal baru ini. Karena dengan bergesernya sistem pembelajaran menjadi digital, keseluruhan maupun parsial, ilmu pengetahuan ada di mana-mana, sistem pembelajaran menjadi dua arah, pendidik berperan sebagai pendamping dan pembimbing bagi siswa. Implikasinya adalah peserta didik jadi lebih mandiri, kritis, kreatif, dan solutif.
Pemerintah pun tak tinggal diam. Kemenkominfo menyatakan bahwa pemerintah tengah dan terus membangun infrastruktur digital yang kuat dan inklusif untuk meningkatkan konektivitas telekomunikasi. Juga menerapkan strategi melalui penguatan infrastruktur digital, pengembangan talenta digital, dan pembentukan hukum yang tepat untuk melengkapi regulasi primer. Strategi yang saling berhubungan dan sama pentingnya itu, tidak hanya untuk menjembatani kesenjangan digital, tetapi juga untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi, dan menuntun Indonesia menjadi masyarakat digital yang tangguh. Termasuk dalam strategi tersebut rencana peluncuran Satelit High-Throughput SATRIA-1 pada tahun 2023 untuk penyediaan akses internet di seluruh titik layanan publik di Indonesia yang belum tersentuh akses internet.
Bagaimana penerapan?
Sebagai pendidik, kita harus mampu mendampingi peserta didik dalam mengoptimalkan perangkat dan fasilitas sehubungan dengan transformasi ruang belajar literasi. Pembelajaran non-konvensional ini memiliki tantangan tersendiri. Kita dituntut untuk kreatif dalam melaksanakannya. Kita harus keluar dari zona nyaman, yaitu gaya mengajar yang konvensional. Kita juga dituntut untuk lebih inovatif dalam menyiapkan materi dan mekanisme pembelajaran, sekaligus mampu memanfaat seluruh potensi teknologi yang tersedia demi kelancaran pembelajaran.
Untuk kelancaran transformasi ruang belajar literasi, Pemerintah RI melalui Kemendikbudristek bekerja sama dengan Google for Education memberikan Google Workspace for Education dalam bentuk akun belajar.id dan madrasahebat.id untuk sekolah-sekolah negeri. Sedangkan sekolah-sekolah swasta dan perguruan tinggi mendapatkan akses untuk menggunakan Google Workspace for Education. Dengan alat-alat Google tersebut, sekolah negeri, swasta, maupun perguruan tinggi dapat mengakses berbagai kebutuhan belajar-mengajar, baik secara tatap muka ataupun jarak jauh.
Sebagai pendidik, kita wajib untuk fasih dalam menggunakan alat-alat tersebut. Ruang kelas tradisional bisa dikonversikan menjadi Google Classroom. Kuis atau ujian bisa dibuat dengan Google Form. Tugas menulis yang biasanya menggunakan kertas, bisa dikerjakan dengan Google Docs. Penghitungan data bisa dilakukan dengan Google Sheets, dan masih banyak lagi contoh transformasi ruang belajar literasi menggunakan alat-alat Google.
Apabila Anda ingin mahir dalam mengaplikasikan Google Workspace for Education, Anda bisa mengikuti beberapa program yang diluncurkan oleh REFO.
Yang pertama adalah Google Master Trainer, sebuah program kolaborasi REFO dengan Kemendikbudristek dan Google for Education. Program ini mempersiapkan pendidik terpilih, yang diseleksi berdasarkan kriteria Kemendikbudristek, yang memiliki tugas untuk melatih guru dan tenaga kependidikan dalam menggunakan Google Workspace for Education.
Yang kedua adalah Google Certified Educator Bootcamp yang diadakan oleh REFO, di mana Anda akan belajar langsung dari Google Certified Trainer, Coach, Innovator yang berpengalaman dengan kurikulum, konten, dan komunitas yang menginspirasi Anda memimpin perubahan dengan Google Workspace for Education.
Meski strukturnya berbeda, dua program itu sama-sama memberikan sertifikat internasional, yaitu Google Certified Educator atau Pendidik Bersertifikasi Google, setelah peserta menyelesaikan pelatihan dan lulus ujian.
Apabila kita telah menguasai alat yang akan membantu transformasi ruang belajar, kita akan lebih percaya diri untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar-mengajar.
Sesuai dengan rekomendasi UNESCO untuk mengkondisikan ruang belajar literasi yang berpusat pada peserta didik, Kemendikbudristek telah meluncurkan Kurikulum Merdeka, yaitu pembelajaran sesuai tahap capaian belajar murid (teaching at the right level). Pendekatan belajarnya berpusat pada kesiapan belajar murid, bukan pada tingkatan kelas. Kurikulum Merdeka merupakan implementasi filosofi ajar Ki Hajar Dewantara yang berpusat pada murid. Jauh sebelum UNESCO memberikan rekomendasinya, Ki Hajar Dewantara telah memiliki visi ini dalam perjuangannya.
Pendidik Indonesia telah diperlengkapi dengan berbagai amunisi untuk mendorong percepatan transformasi ruang belajar. Oleh karena itu, manfaatkan dan optimalkan demi menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Bagaimana literasi atau minat baca di Indonesia?
Ada yang harus diperhatikan sebelum kita menuju modernisasi dunia pendidikan. Kita tidak boleh melupakan, bahwa minat baca di Indonesia masih sangat rendah. Kemenkominfo menyatakan bahwa menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, yaitu hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya ada 1 orang yang rajin membaca.
Central Connecticut State University melakukan survei dengan judul “World’s Most Literate Nations Ranked”. Dari 61 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat ke-60. Studi ini digunakan sebagai lensa untuk melihat perilaku melek huruf dan sumber daya pendukungnya, seperti ukuran dan jumlah perpustakaan, jumlah media dan buku yang beredar, juga jumlah penduduk. Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, sebenarnya peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Bagaimana mengatasi hal ini?
Sebagai orang tua dan pendidik kita harus menanamkan minat baca pada anak-anak sejak dini. Banyak hal yang bisa kita lakukan, Kompas melansir beberapa cara, yaitu:
1. Sediakan buku bacaan yang sesuai dengan usia dan minat sang anak
Buat semacam perpustakaan di rumah, sehingga anak terbiasa dekat dengan bahan bacaan dan mudah mengaksesnya.
2. Rajinlah membaca
Orang tua adalah figur pertama kali yang diidolakan anak. Jika idolanya gemar membaca, anak akan menirunya.
3. Bacakan buku setiap hari untuk anak
Ciptakan kegiatan membaca dengan cara yang menyenangkan, jadi anak tidak akan merasa bosan.
4. Ceritakan hasil bacaan
Minta anak untuk menceritakan isi buku yang dibacanya, kemudian dijadikan bahan diskusi yang menarik dan mendidik. Dengan demikian, anak tak hanya dirangsang untuk membaca, tapi juga memahami isi buku yang dibacanya.
REFO telah menayangkan Indonesia Edu Webinar sehubungan dengan judul “Menumbuhkan Kebiasaan Membaca Sedari Usia Dini“, di mana Narasumber berbagi pengalaman tentang hal ini.
Untuk menuju Indonesia Emas 2045, kita harus mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi Generasi Emas, generasi yang tak hanya berliterasi tinggi, tapi juga memiliki literasi digital, serta melek pengetahuan dan teknologi.
Salam literasi!
Penulis : Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait:
- PTM 100%: Lupakan Pembelajaran Daring?
- Pentingnya Digitalisasi Pendidikan Menuju Generasi Indonesia Emas 2045
- Menjadi Pelajar Mandiri dengan Bantuan Teknologi