Tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila dengan menekankan pada kelamnya Gerakan 30 September (G30S), yang diyakini sebagai peristiwa di mana Partai Komunis Indonesia (PKI) ingin mengubah ideologi bangsa dengan melakukan rangkaian kekejaman. Di tragedi tersebut, tidak hanya enam jenderal dan satu kapten yang jadi korban, tapi juga ratusan ribu orang lainnya dihilangkan nyawanya tanpa proses pengadilan.
Berpuluh-puluh tahun kita disuguhi narasi yang membuat yakin dan percaya pada satu cara pandang dari sebuah peristiwa. Propaganda bahwa komunisme sama dengan ateisme yang membenci umat beragama telah membuat kebenaran terblokir, sehingga kita tidak pernah merasa perlu mencari tahu sisi lain dari peristiwa tersebut.
Pertanyaannya, apakah tepat jika mengajarkan Pancasila dengan menitikberatkan pada kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat menimbulkan kemarahan serta kebencian, sehingga memungkinkan untuk terbentuknya intoleransi terhadap ideologi tertentu?
Apakah tidak lebih baik jika kita mengajarkan untuk tidak membenci apa pun atau siapa pun kecuali ketidakadilan, kebohongan dan provokasi?
Apakah tidak lebih baik jika mendorong anak didik untuk menjadi kritis, mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi?
Pada saat memperingati Hari Kesaktian Pancasila, apakah kita paham apa yang sebenarnya sakti dari Pancasila?
Kita bisa membaca Pancasila, tapi juga melihat moralitas anak bangsa yang tidak sesuai dengan Pancasila. Kita bisa membaca Pancasila, tapi belum memahami keterkaitan dari masing-masing sila. Kita bisa membaca Pancasila, tapi belum dapat memahami bagaimana Pancasila dapat meresap dalam diri kita. Hal ini bisa jadi karena selama ini kita tidak tepat dalam membaca Pancasila.
Selama ini kita membaca dan mempelajari Pancasila secara tersegmentasi, bukan sebagai satu kesatuan. Kita membaca Pancasila dengan menyebutkan satu per satu kelima sila yang ada, sehingga tidak memahaminya sebagai kalimat-kalimat yang saling berkaitan dengan satu maksud.
Pancasila dapat dibaca dengan satu alternatif yang berbeda dari yang selama ini kita tahu:
“Semakin saya meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa, semakin saya memegang prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dan menjaga persatuan Indonesia, dengan cara kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dengan cara membaca yang demikian, kita akan tiba pada pemahaman Pancasila sebagai satu kesatuan dan sila-silanya memiliki keterkaitan yang erat.
Bangsa Indonesia harus dikembalikan pada Pancasila dalam kerangka dasar bahwa semakin kita meyakini Pancasila, semakin seharusnya kita berbudi luhur, sehingga Pancasila tidak sekedar menjadi slogan, tapi juga menjadi realita hidup sehari-hari. Pendek katanya adalah kita harus mampu menjadi seorang yang pancasilais, yaitu adalah seorang yang berbudi luhur, menghormati sesama manusia, bertoleransi, serta mencintai dan senantiasa menjaga kedamaian bangsa dan negara.
Penulis : Astrid Prahitaningtyas
Artikel Terkait :