Menjadi Orang Tua di Era Digital

Lahir sebagai digital native, gawai bukan sekadar alat komunikasi bagi anak zaman sekarang. Ruang sosial, ruang belajar, ruang bermain, berada dalam genggaman mereka. Bagaimana orang tua harus menyikapi hal ini?

Di era digital seperti sekarang, anak-anak dan remaja hidup dalam dunia yang tak pernah lepas dari layar. Gawai bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga ruang sosial, ruang belajar, ruang bermain, bahkan “pelarian” dari tekanan hidup. Peran orang tua mengalami transformasi besar. Tak cukup lagi hanya memastikan anak makan sehat dan belajar rajin—orang tua masa kini dituntut untuk menjadi pendamping aktif dalam kehidupan digital anak.

Pada Maret 2025 lalu, Netflix meluncurkan Adolescence, sebuah serial empat episode yang menuai pujian karena alur cerita yang sangat relatable, hingga akting para pemeran yang memukau. Serial ini menarik banyak perhatian karena isu kriminal remaja yang menggambarkan realitas masa kini.

Serial Adolescence menyuguhkan dinamika remaja yang menghadapi tekanan identitas, eksistensi di media sosial, cyberbullying, dan kesepian—meski tampak selalu terhubung. Banyak dari mereka berjuang sendirian, tanpa keterlibatan nyata dari orang dewasa.

Stephen Graham, salah satu penulis dari naskah serial ini, mengatakan, “Salah satu tujuan kami adalah untuk bertanya, ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak muda kita saat ini, dan tekanan apa yang mereka hadapi dari teman sebaya, internet, dan media sosial? Dan apakah tekanan yang datang dari semua hal itu sama sulitnya bagi anak-anak di sini (Inggris) dan di seluruh dunia.”

Dalam artikel ini, REFO tidak akan terlalu banyak membahas tentang serial tersebut. Namun kita akan bersama-sama belajar darinya, tentang bagaimana menjadi orang tua di era digital? Apa yang harus kita lakukan agar anak-anak kita tetap terlindungi dari ilusi sosial dan kekaburan dunia maya?

Mari kita telusuri data-data temuan Common Sense Media dalam The 2025 Common Sense Census: Media Use by Kids Zero to Eight (sensus terhadap anak usia 0 hingga 8 tahun) berikut ini:

  • Anak-anak mulai menggunakan layar pada usia yang sangat muda. 
    • 40% anak usia 2 tahun memiliki tablet sendiri.
    • 58% anak usia 4 tahun memiliki tablet sendiri.
    • 25% anak usia 8 tahun memiliki ponsel pintar sendiri.
    • Secara keseluruhan, 51% anak usia 8 tahun ke bawah memiliki perangkat seluler sendiri (seperti tablet atau ponsel pintar).
  • Pengawasan orang tua sangat bervariasi berdasarkan platform.
    • 62% orang tua menonton YouTube sesekali bersama anak-anak mereka.
    • 17% yang menonton bersama konten TikTok.
  • AI membuat terobosan pada anak usia dini, dengan hampir sepertiga orang tua melaporkan bahwa anak mereka telah menggunakan AI untuk pembelajaran di sekolah.

Laporan Common Sense Media sebelumnya, yaitu The 2021 Common Sense Census: Media Use by Tweens and Teens (sensus terhadap anak usia 8 hingga 18 tahun) mencatat:

  • Rata-rata, anak usia 8 hingga 12 tahun menggunakan media layar sekitar 5,5 jam per hari; dan anak usia 13 hingga 18 tahun menggunakan media layar sekitar 8,5 jam per hari.
  • Secara keseluruhan, 84% remaja telah menggunakan media sosial; di mana 34% dari mereka mengatakan bahwa mereka ‘sangat menikmati’ penggunaan media sosial.

Dengan tatanan seperti ini, sebagai orang tua kita harus membuka mata lebar-lebar tentang kompleksitas dunia digital remaja masa kini. “Melek teknologi” saja tidak cukup untuk mengimbangi dunia digital anak-anak zaman now. Karena mereka bukan hanya butuh pengawasan, melainkan pendampingan; artinya kita harus hadir secara emosional, bukan sekadar teknis.

Jadi, bagaimana kita harus bersikap? Meringkas artikel UNICEF, berikut hal-hal yang bisa orang tua lakukan untuk menciptakan kebiasaan digital yang sehat di rumah:

1.  Mulai dari rasa ingin tahu, bukan ketakutan.

Alih-alih langsung melarang atau membatasi akses terhadap gawai dan/atau aplikasi tertentu, coba tanyakan kepada mereka: “Apa yang kamu suka dari TikTok?” atau “Kamu follow siapa saja sih di Instagram?” Intinya adalah membuka ruang dialog bersama anak, bukan interogasi.

2.  Menjadi model digital yang sehat.

Anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat, bukan dengar. Oleh karena itu, sebagai orang tua, kita harus menjadi model digital yang sehat. Jika kita juga terus-menerus terlihat memegang gawai, akan sulit untuk meminta anak membatasi screen time mereka.

3.  Ciptakan zona bebas gawai.

Kita bisa menciptakan hal ini dengan batasan-batasan seperti, tidak ada yang boleh pegang gawai selama makan malam bersama (termasuk orang tua) atau ciptakan waktu untuk membaca buku bersama dan membahas isinya kemudian.

4.  Jelajahi gawai bersama.

Cobalah menonton dan menggunakan gawai bersama dengan anak-anak dari segala usia. Ini bisa termasuk menonton acara atau film bersama dan berdiskusi dengan mereka tentang hal itu. Untuk anak yang lebih besar, minta mereka menunjukkan kepada kita apa yang mereka lakukan di dunia maya—apa yang mereka minati, aplikasi apa yang mereka sukai, dan lain-lain. Kita juga bisa menjadikan serial Adolescence sebagai bahan diskusi. Tanyakan: “Menurut kamu, kenapa tokoh itu merasa tertekan?” atau “Kalau kamu ada di posisi itu, apa yang akan kamu lakukan?”

5.  Tahu kapan harus mundur sejenak.

Kita mungkin ingin terus memantau apa yang anak lakukan di perangkat mereka. Hal ini memang sangat penting kita lakukan dengan anak-anak yang masih sangat muda (usia 0 hingga 12 tahun). Seiring bertambahnya usia anak dan semakin banyaknya pengalaman dengan gawai mereka, kita bisa sedikit lebih “membebaskan” mereka, karena kita tidak ingin anak-anak merasa dikekang. Namun, tetaplah selalu awas untuk mengetahui apa yang mereka lakukan di dunia maya.

Teknologi akan terus berkembang, begitu juga tantangan digital anak-anak kita. Namun, satu hal yang tak bisa digantikan oleh algoritma adalah kehadiran orang tua yang peduli, mau belajar, dan terlibat. Anak-anak butuh orang tua, bukan filter.

Menjadi orang tua zaman sekarang memang tidak mudah, tapi hal ini juga tidak harus kita jalani sendiri. Seperti pepatah kuno Afrika yang mengatakan “It takes a village to raise a child”—membutuhkan seluruh lapisan masyarakat untuk membentuk anak-anak masa kini menjadi generasi yang unggul dan tangguh di masa depan.

Dunia digital memang penuh tantangan, tetapi juga menawarkan banyak peluang. Dalam mendidik anak, kita tidak bisa menafikan pentingnya literasi digital (dan AI), tetapi kita juga harus mempertimbangkan kesejahteraan mental anak-anak kita. Yang dibutuhkan anak bukanlah kontrol berlebihan, melainkan orang tua yang hadir sepenuh hati dan siap tumbuh bersama.

REFO mengajak seluruh orang tua di Indonesia untuk bergandengan tangan, bersama-sama mendidik anak-anak zaman now untuk berdaya dalam menghadapi masa depan dalam Indonesia Future of Learning Summit (IFLS) 2025. Mengangkat tema “AI-ducated: Unlocking The Future with AI Skills and Beyond”, IFLS 2025 menghadirkan pakar pendidikan, orang tua, penentu kebijakan, serta psikolog anak dan remaja. Dalam acara ini kita akan bersama-sama belajar bagaimana membuat keputusan strategis sekarang sehingga anak-anak kita tidak hanya siap untuk apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi juga diberdayakan, baik secara mental maupun emosional, untuk memimpin di masa depan.

Ingin tahu lebih lanjut tentang IFLS 2025? Hubungi REFO di nomor ini, ya.

Penulis: Astrid Prahitaningtyas

Artikel terkait:

Share :

Related articles