Kita harus akui bahwa skills gap masih terjadi di banyak perusahaan, bahkan ada studi yang mendukung pernyataan tersebut. Lalu bagaimana caranya supaya hal itu bisa (suatu saat) terhapus?
Sebuah studi yang dilakukan oleh McKinsey & Company menyatakan bahwa 87% perusahaan di dunia sepakat tentang adanya skills gap. Apa sih skills gap? Pendeknya, skills gap adalah kesenjangan antara kemampuan yang dimiliki karyawan dengan yang dibutuhkan perusahaan.
Berdasarkan pengalaman pribadi, dari sejak memulai karier sampai punya perusahaan sendiri, saya akui adanya kesenjangan yang dimaksud dalam studi tersebut. Ada beberapa keahlian yang dibutuhkan di dunia kerja yang tidak diajarkan di sekolah, dan pada akhirnya tidak dimiliki oleh lulusannya.
Contoh paling sederhana adalah, kita belum atau bahkan tidak memiliki kebiasaan untuk berbahasa Inggris dengan benar dan tepat, baik verbal maupun nonverbal. Dalam hal ini adalah business English, yang biasa digunakan oleh perusahaan multinasional, bukan bahasa Inggris gramatikal seperti yang diajarkan di sekolah. Padahal keterampilan ini dibutuhkan untuk berkomunikasi, juga supaya produktif dan bisa berkembang pesat dalam persaingan global.
Sebelum kita ngobrol lebih jauh, saya ingin cerita sedikit tentang Social-Emotional Learning (SEL), yang saya pikir akan punya peran besar dalam mengatasi skills gap.
Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL) mendefinisikan SEL sebagai proses mengembangkan kesadaran diri, pengendalian diri, dan keterampilan interpersonal yang penting untuk sekolah, pekerjaan, dan kesuksesan hidup. Seseorang dengan keterampilan sosial-emosional yang kuat lebih mampu mengatasi tantangan sehari-hari, dan mendapat manfaat secara akademis, profesional, maupun sosial.
Ada lima kompetensi inti SEL, yaitu:
- Kesadaran diri (self-awareness)
Kemampuan seseorang dalam memahami emosi dan pemikirannya, serta bagaimana dua hal itu memengaruhi perilakunya. Termasuk di dalamnya keterampilan untuk mengenali emosi, persepsi diri, memahami kekuatan dan kelemahan diri, rasa percaya diri, dan efikasi diri.
- Pengelolaan diri (self-management)
Kemampuan seseorang dalam mengatur emosi, pemikiran, dan perilakunya, serta memotivasi dirinya sendiri dan berani menerima tantangan. Termasuk di dalamnya keterampilan pengaturan diri dan fungsi eksekutif (proses mental yang memungkinkan manusia untuk merencanakan, memusatkan perhatian, mengingat instruksi, dan mengerjakan banyak tugas dengan sukses), manajemen stres, dan kedisiplinan.
- Kesadaran sosial (social awareness)
Kemampuan seseorang dalam menghargai perspektif orang lain, berempati, menghargai perbedaan, dan menghargai norma sosial berkaitan dengan perilaku.
- Kemampuan berhubungan (relationship skills)
Kemampuan seseorang untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat dan bermakna dengan orang lain. Termasuk di dalamnya keterampilan untuk bekerja sama.
- Membuat keputusan secara bertanggung jawab (responsible decision making)
Kemampuan seseorang membuat pilihan secara terhormat, serta bertanggung jawab atas apa pun hasil dari pilihan tersebut. Termasuk di dalamnya keterampilan mengidentifikasi masalah, menganalisis situasi, dan memecahkan masalah.
Sehubungan dengan skills gap yang disebut di awal, dan tanpa menafikan kompetensi inti yang lain, saya ingin menyoroti kompetensi inti SEL yang kedua, yaitu pengelolaan diri. Sejauh pengalaman saya terjun di dunia kerja dan bisnis, saya menyadari kurangnya kemampuan SDM kita dalam hal pengelolaan diri. Saya melihat ‘pengelolaan diri’ sebagai sebuah frasa yang luas, di mana di dalamnya ada integritas, pengelolaan waktu, kemampuan berprioritas, tanggung jawab, serta rasa memiliki terhadap pekerjaan dan perusahaan tempat kita bekerja.
Saya sudah menjalani remote working sejak tahun 2012, dan sistem ini juga yang saya terapkan di REFO, perusahaan yang saya dirikan dan pimpin sejak tahun 2018. Di awal saya mulai remote working, memang saya merasa bahwa saya tidak terbiasa dengan kultur di mana saya harus mengatur waktu saya sendiri. Jadi, waktu itu saya sadar kalau sebenarnya, saya terbiasa dengan orang lain yang mengatur waktu saya.
Nah, di zaman now, di mana banyak sekali yang menerapkan working from anywhere, pengelolaan diri menjadi hal yang sangat penting. Walaupun tidak kelihatan, hal itu menjadi kunci supaya kita bisa produktif dan kontributif terhadap perusahaan.
Saya ingin berbagi pengalaman, di mana saya pernah menghadapi seorang anak magang yang masih duduk di bangku SMA. Anak ini mempunyai keinginan untuk belajar yang sangat besar, ia selalu bersemangat kalau saya sarankan mengambil kursus-kursus tertentu untuk mendukung pekerjaannya. Dan hasilnya seringkali melebihi ekspektasi saya. Ada juga staf yang hanya lulusan SMA, saya tidak melihat ijazah, tapi potensinya. Saya minta dia untuk ikut kursus-kursus yang menunjang pekerjaannya, dan ia mampu menyelesaikannya dengan baik.
Jadi, berdasarkan pengalaman saya sendiri sebagai pegawai, dan sebagai pemilik perusahaan, saya menitikberatkan pada kemauan seseorang untuk belajar (willingness to learn). Apa pun pendidikannya, berapa pun umurnya, kalau seseorang memiliki kemauan untuk belajar, ia masih akan terus bisa berkembang. Bukan berarti pendidikan formal tidak penting, tapi pola pikir berkembang (growth mindset) itu penting kalau kita tidak mau mandeg.
Kalau kita rangkum semua yang saya terangkan soal pengelolaan diri, kemauan untuk belajar, pola pikir berkembang, itu semua termasuk dalam kategori soft skills. Apa itu soft skills? Singkatnya, soft skills adalah karakter dan kemampuan yang menjadi ciri hubungan seseorang dengan orang lain, seperti kepribadian, sikap, fleksibilitas, motivasi, dan tata krama. Yang termasuk di dalam soft skills di antaranya adalah keterampilan interpersonal, komunikasi, mendengarkan, manajemen waktu, bekerja sama, dan berempati.
Sayangnya, soft skills itu tidak diajarkan di pendidikan formal. Meskipun akhir-akhir ini ada beberapa sekolah dan perguruan tinggi yang mengembangkan pembelajaran soft skills, tapi belum banyak. Padahal, sekali lagi, soft skills itu penting banget untuk dimiliki kalau kita ingin maju.
Saya sadar kalau soft skills lebih bisa didapatkan di dunia kerja, bukan di bangku sekolah atau kuliah. Oleh karena itu, saya buka pintu REFO untuk para siswa yang ingin magang, karena bagaimana pun juga, pengalaman magang akan membantu mengatasi adanya skills gap.
Pesan saya juga untuk adik-adik yang masih menempuh pendidikan, terutama yang berada di bangku perguruan tinggi, ilmu pengetahuan yang didapatkan di kuliah saja itu tidak cukup. Jangan lupa bahwa masih banyak hal di luar perkuliahan yang perlu dipelajari agar siap menghadapi persaingan di industri. Atur waktu sedemikian rupa, supaya bisa mengambil kursus-kursus atau sertifikasi yang sesuai dengan minat dan/atau mendukung keprofesian di masa depan.
Dan, sebagai seorang pengusaha, saya siap mendukung semua staf saya yang ingin maju dan berkembang. Saya siap untuk berinvestasi pada diri mereka, agar skills gap itu terhapus.
Jadi sekali lagi, ijazah saja tidak cukup, seseorang harus menunjukkan indikasi akan potensi tertentu, dan tentu saja soft skills untuk mendukung kemajuannya dan perkembangannya sendiri.
Artikel terkait: