Tes PISA 2022: Hasil Apa yang Bisa Kita Harapkan?

Tes PISA (Programme for International Student Assessment) adalah penilaian internasional tiga tahunan yang diselenggarakan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development  – OECD) untuk mengukur kemampuan anak-anak usia 15 tahun di bidang membaca, matematika dan sains. 

Walaupun Indonesia bukan negara anggota OECD, tapi turut berpartisipasi dalam tes PISA sejak tahun 2000. Kurang lebih 70 negara berpartisipasi dalam tes PISA tiap kali diadakan, dan hasilnya merupakan salah satu sumber referensi untuk pembentukan kebijakan pendidikan di berbagai negara. Informasi tentang tes PISA bisa didapatkan di sini

Tes PISA berikutnya akan dilakukan tahun 2022 karena pelaksanaannya di tahun 2021 terhalang pandemi. Nah, bagaimana pencapaian Indonesia dalam tes PISA tahun 2018, sebagai bahan persiapan untuk PISA 2022? 

REFO menyajikan analisa berdasarkan laporan tes PISA 2018 serta beberapa prediksi:

Kemampuan membaca, berhitung dan sains di bawah rata-rata

Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa skor PISA Indonesia lebih rendah sekitar 100 poin dari rata-rata negara OECD untuk membaca, berhitung dan sains. Dalam sistem PISA, nilai 40 setara dengan satu tahun pembelajaran. Skor anak-anak kita yang 100 poin di bawah rata-rata mengindikasikan bahwa kemampuan literasi, berhitung dan sains mereka tertinggal 2,5 tahun dibanding anak-anak 15 tahun di negara-negara OECD.

Hasil di bawah rata-rata ini dikonfirmasikan dengan rendahnya jumlah peserta Indonesia yang mendapat skor tertinggi di setidaknya satu mata pelajaran, serta banyaknya peserta Indonesia yang mendapat skor terendah di literasi maupun berhitung.

Kemampuan membaca, berhitung dan sains stagnan sejak 2000

Dari grafik di bawah, terlihat bahwa skor PISA Indonesia fluktuatif sejak keikutsertaan pertama di tahun 2000, tapi secara garis besar tidak ada peningkatan antara tahun 2000 dan 2018.

Hasil ini tentunya tidak menggembirakan. Namun ada catatan bahwa di tahun 2000, hanya 46% anak usia 15 tahun Indonesia yang diikutsertakan dalam tes PISA. Di tahun 2018, persentasenya bertambah menjadi 85%. Biasanya, ketika jumlah peserta tes sedikit, ada kecenderungan untuk hanya mengikutkan siswa-siswi unggul agar nilai terdongkrak naik. Fakta bahwa jumlah peserta meningkat hampir 2x lipat berarti siswa-siswi non unggulan juga diikutkan, yang secara otomatis akan menurunkan skor. 

Dari hipotesa OECD, bila peserta tes PISA Indonesia di tahun 2018 sama jumlahnya dengan tahun 2000, ada peningkatan skor sebanyak 11 poin setiap 3 tahun sejak 2003 di antara siswa-siswi berperingkat 25% teratas yang mengikuti tes PISA

Tidak ada beda signifikan antara skor perempuan dan laki-laki

Data PISA menunjukkan konsistensi bahwa secara umum, perempuan memiliki skor lebih tinggi di bidang akademik di semua negara. Grafik 3 menunjukkan bahwa beda skor perempuan – laki-laki di Indonesia tidak menunjukkan perbedaan signifikan kecuali dalam kemampuan membaca, dimana beda skor 25 berarti siswa perempuan lebih maju satu semester dibandingkan laki-laki.

Literasi anak-anak kurang mampu tertinggal satu tahun

Grafik 3 di atas juga menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa-siswi di kelompok sosial ekonomi yang baik mencetak skor 52 poin lebih tinggi dari siswa-siswi di kelompok sosial ekonomi lemah, setara dengan satu tahun pembelajaran.

Namun 14% murid dari golongan sosial ekonomi lemah berhasil mencapai skor tertinggi untuk kategori membaca di Indonesia. Ini lebih tinggi dari rata-rata OECD dan mengindikasikan bahwa latar belakang ekonomi bukan satu-satunya penentu kemampuan literasi yang baik.

Menuju PISA 2022: Prediksi REFO Indonesia

Pandemi akan berkorelasi negatif pada nilai PISA anak-anak Indonesia baik di bidang membaca, berhitung maupun sains karena keterbatasan teknologi pembelajaran dan berkurangnya waktu interaksi dengan guru. Namun kami menduga bahwa tren yang sama akan terjadi di semua negara, tidak hanya Indonesia.

Akan terjadi peningkatan kesenjangan skor antara siswa yang berada dan kurang berada, karena siswa-siswi kurang berada memiliki keterbatasan akses teknologi pembelajaran. Namun demikian, kami memperkirakan bahwa skor siswa-siswi yang mampu pun akan mengalami penurunan sedikit karena akses pada teknologi pembelajaran bukan berarti mereka memiliki pendamping belajar yang bisa diandalkan atau mereka sudah memiliki kemampuan untuk belajar secara mandiri.

Pandemi telah membuat prioritas kita bergeser: dari peningkatan mutu pendidikan menjadi bagaimana memastikan akses pendidikan bagi semua, termasuk mereka yang harus di rumah dengan akses teknologi terbatas maupun tidak ada pendamping belajar. Tes PISA 2022 bisa menjadi acuan bagi Kemdikbudristek untuk menyusun kerangka acuan pendidikan nasional setelah pandemi, selain asesmen nasional.

Penulis : Elina Ciptadi

Artikel Terkait :

Share :

Related articles