Setiap 30 Juli, Hari Persahabatan Internasional mengajak dunia merayakan ikatan tanpa batas perbedaan. Inisiatif PBB ini mengingatkan kita akan kekuatan persahabatan dalam membangun dunia yang lebih damai, inklusif, dan penuh empati.
Rasa menjadi bagian dari kelompok sosial (belongingness) merupakan kebutuhan dasar manusia dan memiliki manfaat besar bagi kesehatan mereka secara keseluruhan. Sebaliknya, anak-anak yang mengalami isolasi sosial atau merasa kesepian karena tidak memiliki cukup teman lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental dan fisik.
Sayangnya, banyak anak masih terisolasi secara sosial. Di Inggris, satu dari sepuluh anak usia 10–15 tahun merasa kesepian. Anak-anak yang mengalami relokasi karena konflik atau pekerjaan orang tua juga sering kali sulit mendapatkan teman baru. Hal ini dapat karena mereka masih meratapi hilangnya kehidupan mereka sebelumnya, termasuk kehilangan teman atau sahabat, ada yang terkendala bahasa sehingga mengisolasi diri, ada juga yang dijauhi oleh anak-anak sebayanya karena “terlihat berbeda.” Padahal, pertemanan adalah cara terbaik agar anak-anak merasa aman dan cepat beradaptasi di lingkungan baru.
Selain itu, ada pula kasus perundungan. Di Indonesia, angka kasus perundungan anak masih tinggi: 55% anak usia sekolah SD hingga SMA mengalami perundungan fisik, dan 30% terkena perundungan verbal.
Agar generasi muda Indonesia tumbuh menjadi individu yang inklusif dan bersahabat, mereka perlu belajar cara menjadi teman yang baik. Sekolah merupakan tempat terbaik untuk anak-anak dalam belajar berinteraksi sosial, mencari teman, dan menjadi bagian dari komunitas. Guru memiliki peran kunci dalam menciptakan lingkungan belajar yang mendukung hal tersebut, baik sebagai fasilitator, motivator, mediator, pendidik dan pengajar, model dan teladan, evaluator, demonstrator, dan komunikator.
Anak-anak perlu belajar tentang empati, sebuah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Hal ini hanya dapat dilakukan jika mereka memahami emosi yang berbeda-beda, seperti seperti bagaimana membedakan rasa marah dengan rasa takut atau kecewa. Ketika mereka mampu mengenali emosi, maka mereka juga akan lebih mudah memahami perasaan orang lain dan berempati. Rasa empati ini merupakan landasan untuk membangun pertemanan yang sehat dan kuat.
Anak-anak adalah pengamat dan peniru yang ulung. Lingkungan sekitar sangat memengaruhi pembentukan perilaku mereka. Ketika orang dewasa di sekitarnya memperlakukan orang lain dengan baik tanpa membeda-bedakan, anak-anak akan belajar melakukan hal yang sama. Begitu pula saat orang dewasa ringan tangan dalam menolong, bersikap ramah kepada orang baru, dan memiliki pandangan positif terhadap individu maupun lingkungan sekitar, anak-anak akan menyerap dan menirunya.
Anak yang ramah, baik hati, dan berempati akan lebih mudah menerima siapa pun sebagai teman, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang berbeda. Akan lebih baik jika sekolah dan keluarga turut berbagi informasi tentang individu dari berbagai budaya, latar belakang, warna kulit, jenis rambut, dan kondisi kesehatan yang beragam. Teknologi masa kini adalah sebuah perpustakaan besar yang menyediakan bacaan, film, wawancara, serta akses untuk berinteraksi langsung dengan individu dari berbagai latar belakang. Buka wawasan mereka agar tumbuh menjadi individu yang inklusif dan mampu berteman dengan siapa saja.
Jika anak-anak Indonesia tumbuh sebagai individu yang ramah, empatik, dan baik hati, maka kasus perundungan dan isolasi sosial di kalangan anak-anak diharapkan dapat berkurang. Anak-anak yang harus relokasi, memulai hidup dari nol, merasa berbeda, atau mengalami kesulitan beradaptasi tidak perlu lagi takut untuk berteman, karena orang-orang di sekitarnya siap menjadi sahabat baru mereka.
Seperti pepatah mengatakan, “Satu musuh terlalu banyak; seribu teman terlalu sedikit,” perdamaian dimulai dari persahabatan. Mari kita bergandengan tangan dalam membentuk generasi muda yang berfokus pada menjadi sahabat yang baik bagi semua orang, serta berusaha untuk tidak memusuhi siapa pun. Kita dapat memulainya dengan menjadi panutan yang baik bagi anak-anak dan remaja di sekitar mereka.
Penulis: Dania Ciptadi
Editor: Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait:
