Brain Rot: Ketika Otak Kita Lelah oleh Konten Digital

brain rot

Kapan terakhir kali kita menghabiskan waktu satu hari penuh tanpa memeriksa media sosial, pesan instan, atau konten digital lainnya? Hmmm… jangan-jangan kita tengah mengalami brain rot!

Istilah “brain rot” belakangan ini viral, bahkan dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year for 2024 dengan voting sebesar 37.000 dan frekuensi penggunaan yang meningkat sebesar 230% sepanjang tahun 2023 hingga 2024.

Dalam bahasa Indonesia, brain rot dapat diterjemahkan secara harfiah sebagai “pembusukan otak”, tetapi tentu saja istilah ini tidak benar-benar mengacu pada pembusukan otak secara biologis.

Jadi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan brain rot?

Brain rot merupakan keadaan mental yang berkabut (foggy brain) dan gangguan fungsi kognitif, yakni kondisi di mana kemampuan berpikir kritis, konsentrasi, dan refleksi diri menurun secara signifikan.

Meski tidak diakui secara medis, brain rot adalah fenomena nyata di era digital. Menghabiskan waktu berjam-jam untuk browsing dan scrolling membuat kita terpapar hoaks, berita sensasional, dan konten visual yang menciptakan standar tidak realistis. Paparan ini dapat memicu perasaan tidak cukup baik (not good enough) dan berdampak negatif pada kesehatan mental. Jika berlangsung terus-menerus, kondisi ini bisa menyebabkan kelelahan mental (mental fatigue), yang menurunkan motivasi, konsentrasi, produktivitas, dan energi sehari-hari.

Menurut Newport Institute, salah satu penyebab utama brain rot adalah screen time yang berlebihan. Aktivitas seperti menonton YouTube, menggulir media sosial tanpa henti, atau berpindah-pindah antar tab membuat otak terus-menerus terpapar rangsangan tinggi. Hal ini membebani sistem kognitif, mengganggu fokus, dan mengurangi kemampuan otak memproses informasi secara mendalam. Jika terus berlangsung, pola ini dapat meningkatkan risiko brain rot dalam jangka panjang.

Multitasking digital, seperti menjelajahi internet, mengirim pesan, dan mengerjakan beberapa tugas sekaligus, dapat berdampak negatif pada fungsi otak. Studi dari Stanford University menunjukkan bahwa pelaku multitasking kronis mencetak skor 26% lebih rendah pada tes memori dibanding mereka yang fokus pada satu tugas. Paparan konten digital yang berlebihan juga dapat menstimulasi otak secara berlebihan, meningkatkan risiko brain rot dalam jangka panjang.

Scrolling media sosial tanpa henti memicu pelepasan dopamin—zat kimia otak yang menimbulkan rasa senang secara instan. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan kepuasan instan tersebut, yang lama-kelamaan membuat otak terbiasa mencari sensasi instan dan melemahkan kemampuan kita dalam menghadapi tugas-tugas yang menantang. Untuk menjaga perhatian pengguna, platform memanfaatkan fitur seperti infinite scroll, notifikasi tanpa henti, dan sistem reward berupa likes, komentar, dan konten baru yang terus muncul, bahkan sebelum kita sadar sedang mencarinya. Inilah yang membuat pengguna sulit lepas dari layar.

Meskipun brain rot bukanlah sesuatu yang bersifat medis, tetapi screen time yang berlebihan akan memengaruhi otak secara biologis.

Studi di Korea Selatan (2022) menemukan bahwa penggunaan smartphone berlebihan dapat menyebabkan perubahan struktur otak yang mirip dengan gangguan kecanduan (addiction disorder). Secara neurologis, kecanduan terjadi ketika otak bergantung pada stimulus tertentu—tidak hanya zat seperti narkoba atau alkohol, tetapi juga aktivitas digital—untuk merasakan kesenangan. Ketergantungan ini mengganggu proses neurotransmitter yang mengatur suasana hati. Ketika stimulus tersebut tidak tersedia, individu berisiko mengalami penurunan mood, depresi, keputusasaan, bahkan dorongan untuk bunuh diri.

Brain rot dapat dialami oleh siapa pun, baik orang dewasa maupun anak-anak. Namun, anak-anak dan remaja lebih rentan jika dibandingkan dengan orang dewasa. Hal disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

  1. Perkembangan otak yang belum sepenuhnya matang. Otak manusia baru matang sepenuhnya di usia pertengahan hingga akhir 20-an, terutama bagian korteks prefrontal yang mengatur logika, perencanaan, dan pengambilan keputusan. Karena area ini masih berkembang pada anak dan remaja, mereka lebih sulit mengendalikan dorongan untuk terus merespons notifikasi atau menggulir media sosial, sehingga lebih rentan terhadap penggunaan digital yang berlebihan dan tidak sehat.
  2. Hipersensitivitas terhadap social feedback. Anak-anak dan remaja cenderung lebih fokus pada perilaku yang mendapatkan feedback pribadi, pujian, atau perhatian dari teman sebaya.
  3. Risiko paparan terhadap konten berbahaya yang lebih tinggi. Saat anak memasukkan usia palsu untuk mengakses media sosial atau gim daring, sistem akan terus menganggap mereka lebih tua dari usia sebenarnya. Ini membuat mereka terpapar konten yang tidak sesuai umur. Penelitian juga menemukan bahwa 11% komentar pada video anak-anak bersifat toksik, menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap kolom komentar demi melindungi anak dari ujaran negatif, pelecehan, dan perundungan.
  4. Keterbatasan literasi digital dan privasi. Banyak anak belum menyadari risiko membagikan informasi pribadi secara daring, seperti nama sekolah atau lokasi rumah, yang rentan disalahgunakan oleh predator daring atau pengiklan. Mereka juga kerap menggunakan platform digital sebelum usia minimum yang dipersyaratkan (misalnya di bawah 13 tahun), sehingga kebijakan batas usia sering kali tidak efektif dalam memberikan perlindungan yang semestinya.
  5. Desain platform yang eksploitatif. Platform media sosial dirancang untuk memaksimalkan engagement, bahkan mengeksploitasi kelemahan perkembangan anak untuk menghasilkan kecanduan.

Apakah brain rot tidak bisa dihindari atau dipulihkan? Tentu saja bisa!

Kabar baiknya, otak manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dan memulihkan diri. Salah satu proses penting terjadi saat kita tidur nyenyak. Dalam fase tidur non-REM—tahap tidur dalam tanpa gerakan mata cepat (Rapid Eye Movement-REM)—otak mengaktifkan sistem glifatik untuk membersihkan limbah metabolik. Fase ini juga penting untuk memperbaiki jaringan, membentuk otot dan tulang, serta memperkuat imun. Tidur yang cukup dan berkualitas tak hanya mengembalikan energi, tapi juga menjaga kesehatan otak dan fungsi kognitif jangka panjang.

  1. Batasi waktu penggunaan media sosial. Menetapkan batasan waktu penggunaan media sosial dapat membantu melindungi kesehatan kognitif, meningkatkan produktivitas, dan kesejahteraan mental.
  2. Praktikkan mindfulness. Praktik mindfulness secara teratur dapat membantu melatih ulang otak untuk fokus, menghilangkan kebiasaan menggulir media sosial atau konten-konten sepele secara tidak sadar.
  3. Berolahraga secara teratur. Aktivitas fisik yang teratur tidak hanya bermanfaat untuk tubuh, tetapi juga salah satu cara terbaik untuk menjaga kesehatan otak. Olahraga meningkatkan aliran darah ke otak, menyediakan oksigen dan nutrisi esensial serta meningkatkan neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk beradaptasi dan berkembang.
  4. Membaca buku. Tidak seperti format konten digital yang pendek dan instan, membaca buku membutuhkan perhatian yang berkelanjutan dan melibatkan otak dalam aktivitas kognitif yang lebih kompleks. Membaca buku adalah salah satu cara paling efektif untuk mendukung kesehatan otak.
  5. Batasi multitasking. Multitasking membuat otak terus-menerus berganti fokus, membebani memori kerja dan mengganggu konsentrasi. Akibatnya, produktivitas menurun dan stres meningkat. Lebih efektif jika kita fokus pada satu tugas dalam satu waktu. Menetapkan waktu khusus untuk tiap aktivitas—seperti mengecek email atau mengerjakan proyek—dapat membantu. Teknik Pomodoro juga terbukti meningkatkan fokus, mengurangi kelelahan mental, dan menjaga ritme kerja tetap seimbang.
  6. Memperkuat interaksi sosial langsung. Interaksi sosial yang bermakna penting bagi kesehatan mental dan emosional. Komunikasi tatap muka memperkuat ikatan, menumbuhkan empati, dan membuka ruang untuk dukungan tulus. Hubungan sosial yang kuat juga terbukti meningkatkan daya ingat, menjaga fungsi otak, dan melindungi dari penurunan kognitif seiring usia. Singkatnya, koneksi manusia adalah kebutuhan emosional sekaligus investasi bagi kesehatan otak jangka panjang.
  7. Lakukan detoks digital. Mematikan gawai dan mengambil jeda dari layar untuk periode tertentu dapat memberikan otak waktu istirahat yang sangat dibutuhkan. Langkah ini membantu kita lepas dari dorongan untuk terus-menerus menggulir konten digital secara otomatis dan tanpa sadar. Dengan menjauh sejenak dari paparan digital, otak memiliki kesempatan untuk menenangkan diri, memulihkan fokus, dan mengisi ulang energi mental. Praktik ini, yang dikenal sebagai detoks digital, terbukti dapat meningkatkan konsentrasi, memperbaiki suasana hati, serta memperbaiki kualitas tidur secara keseluruh
  8. Belajar keterampilan baru. Hal ini merupakan salah satu cara paling efektif untuk menjaga otak tetap aktif dan terstimulasi. Aktivitas seperti belajar memainkan alat musik, mempelajari bahasa asing, atau mengikuti kelas memasak mampu merangsang berbagai area di otak yang berkaitan dengan konsentrasi, koordinasi, dan pemrosesan informasi. Proses belajar ini tidak hanya menyenangkan, tetapi juga bermanfaat untuk meningkatkan daya ingat, memperkuat kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, serta membantu melindungi otak dari penurunan fungsi kognitif seiring bertambahnya usia.
  9. Meluangkan waktu di alam terbuka. Menghabiskan waktu di luar ruangan adalah salah satu cara termudah untuk mengurangi stimulasi digital yang berlebihan, mencegah penurunan fungsi otak, dan meningkatkan kinerja kognitif. Paparan alam juga dapat menurunkan tingkat stress, meningkatkan mood, dan memperkuat konsentrasi. Menambahkan tanaman hidup di dalam rumah atau ruang kerja juga dapat memberikan manfaat kognitif.
  10. Menjalankan hobi yang bersifat kreatif. Hobi kreatif seperti kerajinan tangan, menggambar, merajut, menulis, atau bermain alat musik dapat menjaga otak tetap aktif dan mengembangkan keterampilan pemecahan masalah. Aktivitas praktis ini memberikan alternatif sehat bagi konsumsi konten digital pasif. Kreativitas juga dapat membantu mengurangi kelelahan mental yang terkait dengan waktu layar berlebihan dan konsumsi konten berkualitas rendah.
  11. Jaga pola makan. Mengonsumsi makanan bergizi akan menutrisi tubuh dan otak. Sebaliknya, makanan tinggi gula dan makanan olahan, serta rendah nutrisi akan menurunkan kinerja kognitif. Oleh karena itu, konsumsilah makan segar yang sarat akan antioksidan, zat besi, vitamin esensial, dan omega-3.
  12. Tidur cukup dan berkualitas. Hal ini sangat penting untuk kesehatan otak. Saat tidur, tubuh memperbaiki diri, mengkonsolidasikan memori, dan membersihkan racun dalam otak. Beberapa cara untuk membangun rutinitas tidur yang sehat:
  • Tidur dan bangun pada waktu yang sama setiap hari, bahkan saat akhir pekan.
  • Hindari penggunaan perangkat elektronik, termasuk ponsel, tablet, dan televisi, setidaknya tiga puluh menit sebelum tidur.
  • Lakukan aktivitas relaksasi sebelum tidur, seperti meditasi, membaca, atau latihan pernapasan.
  • Jaga kamar tidur tetap gelap, sejuk, dan tenang.

Ingin tahu lebih lanjut tentang bagaimana cara tackling teknologi yang terus berkembang pesat? Bagaimana sekolah seharusnya merespons implementasi teknologi, dan persiapan apa yang perlu dilakukan? Bagaimana pendidik seharusnya mengubah cara mereka mengajar? Apa yang perlu dipahami orang tua tentang teknologi (termasuk AI), screen time, dan batasannya? Dan secara umum, apa yang perlu kita semua pahami tentang keterampilan masa depan yang akan tetap relevan sepanjang waktu, meski di tengah derasnya arus teknologi?

Dapatkan jawabannya dalam Indonesia Future of Learning Summit (IFLS) 2025 dengan tema “AI-ducated: Unlocking The Future with AI Skills and Beyond”, yang mengajak kita semua untuk tetap terinformasi, beradaptasi dengan percaya diri, dan membuat pilihan-pilihan yang tak hanya fokus pada perkembangan teknologi, tetapi juga mempertimbangkan future skills yang juga penting, serta ketahanan dan kesejahteraan psikologis.

Penulis: Astrid Prahitaningtyas

Artikel terkait:

Share :

Related articles