Sejak tahun 1911, tanggal 8 Maret dirayakan sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) untuk merayakan emansipasi wanita di berbagai area: ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Mengapa hari ini perlu dirayakan? Karena sampai sekarang, masih ada praktik-praktik yang tidak adil bagi perempuan, sehingga perlu ada momentum tahunan untuk mengingatkan publik bahwa kesetaraan gender masih perlu diperjuangkan. Misalnya:
- Akses pendidikan bagi perempuan membaik, tapi akses kerja lebih terbatas
Bank Dunia menyebutkan bahwa Indonesia berhasil mencapai kesetaraan pendidikan dasar per tahun 2019, dimana jumlah siswa perempuan dan laki-laki berimbang. Tidak hanya itu, siswa perempuan memiliki hasil akademik lebih baik dari laki-laki. Namun laporan yang sama menyebut bahwa akses kerja bagi perempuan, dan kesempatan naik jabatan bagi perempuan, lebih terbatas.
Ini disebabkan berbagai faktor, termasuk disuruh cepat menikah sehingga tidak sempat mengembangkan karir. Ada pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang tidak membuka lowongan untuk perempuan. Selain itu, masih ada anggapan bahwa laki-laki adalah pemimpin yang lebih baik, sehingga banyak perempuan tidak mendapat kesempatan atau tidak berani melamar ke posisi-posisi senior di pemerintahan, politik dan tempat kerja. Satu contoh ketidaksetaraan ini tercermin dari data bahwa walaupun mayoritas guru yang berada di bawah naungan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015) adalah perempuan, proporsi kepala sekolah perempuan hanya 30%.
- Ketika pekerjaan ada, perempuan digaji lebih rendah untuk pekerjaan yang sama
Di Indonesia, kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki berdasarkan data International Labour Organization (ILO) 2009 adalah 25%.
Dari laporan yang sama, disebutkan bahwa untuk pekerjaan yang sama, terkadang posisi perempuan diberi nama yang berbeda supaya tidak terlihat se-senior rekannya yang laki-laki sehingga bisa digaji lebih rendah. Misalnya pria diberi titel Asisten Manajer, perempuan Sekretaris. Atau pria menjadi teknisi, perempuan menjadi operator.
- Anggapan bahwa mengejar kesuksesan adalah tanggung jawab laki-laki
Pola pengasuhan anak tidak lepas dari anggapan ini, dimana banyak anak laki-laki diajar untuk mengejar karir, mencari uang dan berinvestasi; sementara perempuan diajar untuk menabung, berbagi dan tidak boros. Cukup banyak perempuan mengalami kesulitan ekonomi karena tidak pernah bersiap diri dengan keterampilan kerja dan pemahaman akan investasi untuk bekal hidup bila ditinggal suami atau menjadi tulang punggung keluarga besar. Padahal ada studi yang membuktikan bahwa perempuan pintar mengendalikan keuangan, bila dibekali ilmunya.
Lalu kita bisa apa? Bila anda orang tua, anda bisa menanamkan pemahaman akan pentingnya pendidikan dan kemandirian finansial ke semua anak anda, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Orang tua bisa tidak memaksa anak perempuan untuk menikah dini sebelum memiliki kesempatan untuk bekerja dan membuktikan diri bahwa mereka bisa hidup mandiri. Bisa pula mengajarkan anak laki-lakinya untuk menghargai pilihan calon pasangan hidupnya bila ingin bekerja atau mengembangkan karir.
Bila anda pendidik, anda bisa menerapkan standar perilaku yang sama bagi siswa perempuan dan laki-laki. Misalnya dengan tidak mengatakan “Perempuan seharusnya ___”. Sebaliknya, guru bisa mengatakan bahwa, “Semua murid seharusnya tidak berkata-kata kasar, saling bekerja sama, tidak saling merendahkan, …”
Dan bila anda pemberi kerja yang belum memiliki kebijakan kesetaraan gender dan kesetaraan upah untuk pekerjaan yang sama, mulailah secara formal membuat aturan kesetaraan gender dan upah. Pilihlah kandidat bukan berdasarkan gender tapi kualifikasinya. Berikan upah yang sama bagi perempuan dan laki-laki di posisi yang sama. Gunakan pula standar disiplin perilaku yang sama bagi karyawan laki-laki dan perempuan.
Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Per tahun 2019, usia pernikahan minimum perempuan sudah dinaikkan jadi 19 tahun. Jumlah siswa perempuan dan laki-laki di tingkat SD sudah setara. Walaupun belum mencapai target 30%, jumlah perempuan yang membuat kebijakan nasional di DPR sudah meningkat dari 97 di tahun 2014 menjadi 118 di tahun 2019. Namun kita bisa terus memperbaiki diri untuk menyetarakan harkat perempuan dan laki-laki, dan tiap orang bisa ambil bagian dalam upaya ini.
Penulis: Elina Ciptadi