Perempuan Berdaya: Menjadi Versi Terbaik dari Diri Sendiri

perempuan berdaya

Lebih dari seabad sejak Kartini menyuarakan kegelisahannya. Perempuan Indonesia kini berkiprah di berbagai bidang. Namun, di balik kemajuan itu, muncul pertanyaan reflektif: apakah kita sudah berdaya dalam peran yang kita jalani?

Setiap 21 April, bangsa Indonesia mengenang R.A. Kartini, sosok perempuan berpikiran tangguh yang memperjuangkan kesetaraan hak, terutama dalam pendidikan. Hari Kartini menjadi momen refleksi atas perjuangan perempuan dari masa ke masa, menegaskan pentingnya pendidikan, kebebasan berpikir, dan pemberdayaan diri. Hal ini membuka akses luas bagi perempuan Indonesia dalam berbagai bidang.

Buku Women and Men In Indonesia 2024 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa populasi di Indonesia pada tahun 2024 terdiri dari 49,88% perempuan dan 50,12% laki-laki. Artinya, hampir separuh penduduk Indonesia adalah perempuan. Apabila populasi perempuan tidak diberdayakan secara optimal, maka Indonesia juga akan kehilangan hampir setengah potensinya untuk berkembang secara maksimal.

Namun, kabar baiknya adalah—dari data pada buku yang sama (hal. 15)—persentase populasi perempuan berusia 7 – 23 tahun yang masih mengenyam pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan populasi laki-laki dengan rentang usia yang sama, yaitu perempuan 75,76% dan laki-laki 73,26%. Ini merupakan capaian penting, mengingat di masa lalu, pendidikan tinggi hanya menjadi privilese bagi laki-laki.

Hal ini sesuai dengan laporan rasio partisipasi pendidikan menurut jenis kelamin yang juga dirilis oleh BPS menunjukkan tingginya rasio partisipasi perempuan pada jenjang pendidikan berikut:

Pendidikan merupakan langkah strategis bagi perempuan untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Berinvestasi dalam pendidikan anak perempuan dapat mengubah komunitas, negara, dan seluruh dunia. Anak perempuan yang menerima pendidikan lebih kecil kemungkinannya untuk menikah muda dan lebih mungkin menjalani kehidupan yang sehat dan produktif.

Sayangnya, menurut Buku Ketenagakerjaan Dalam Data Edisi 2 Tahun 2024 (hal. 121) jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia menurut status pekerjaan utama dan jenis kelamin menyatakan bahwa jumlah pekerja perempuan di Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Dan jumlah pekerja keluarga/tidak dibayar berjenis kelamin perempuan jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Lihat tabel berikut:

Namun, dalam ranah ekonomi, peran perempuan cukup tinggi. Sekitar 64% pelaku UMKM di Indonesia adalah perempuan, dan jumlah UMKM saat ini mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07%. Para perempuan ini berkontribusi signifikan terhadap tidak hanya ekonomi nasional, tetapi juga perekonomian keluarga mereka.

Refleksi Diri: Kembali ke Panggilan Hidup

Menarik memang, jika kita merujuk pada data-data di atas. Pada satu sisi, pencapaian partisipasi perempuan dalam pendidikan cukup tinggi, begitu pula kontribusinya terhadap perekonomian nasional melalui UMKM. Di sisi lain, jumlah perempuan pekerja keluarga/tidak dibayar juga cukup tinggi.

Namun hal ini tidak berarti negatif, karena sebagai manusia, perempuan memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Apakah ia akan berkarir di korporasi? Membangun usaha sendiri? Atau sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga?

Perempuan tidak perlu terjebak pada ilusi sosial bahwa kesuksesan hanya diukur dari pencapaian di ruang publik. Di era digital, media sosial membentuk “standar” yang sering membuat perempuan merasa “tidak cukup” dengan dirinya. Kehidupan rumah tangga yang sempurna di Instagram, pencapaian karier yang hebat di TikTok, atau gaya hidup hedonis “influencer” sering kali membuat kita lebih fokus membandingkan diri dengan orang lain daripada menjalani peran kita sendiri.

Kondisi ini sejalan dengan Teori Perbandingan Sosial dari Leon Festinger, yang menyatakan bahwa individu cenderung membandingkan diri dengan orang lain untuk mengevaluasi kemampuan mereka. Namun, jika perbandingan tersebut tidak realistis, rasa tidak mampu dan rendah diri bisa muncul. Kita perlu ingat bahwa tidak semua yang terlihat di media sosial mencerminkan kenyataan.

Brené Brown dalam bukunya The Gifts of Imperfection menegaskan bahwa kebahagiaan dan keberanian muncul saat seseorang melepaskan standar eksternal yang tidak sehat dan menerima keutuhan dirinya. Perempuan sering terjebak membandingkan diri dengan orang lain, hingga lupa melihat ke dalam diri sendiri. Saatnya kita bertanya: apa panggilan hidup saya dan apakah saya menjalani peran ini dengan berdaya?

Mahasiswa perempuan, misalnya. Mungkin ia belum tiba di puncak karier, tetapi masa kuliah adalah momen penting menanamkan integritas, ketekunan, dan keingintahuan. Pemberdayaan diri tercermin dari belajar tekun, aktif berorganisasi, berani berpendapat, dan jujur menyelesaikan tugas. Mahasiswa yang sadar peran memaksimalkan potensinya kini demi dampak di masa depan.

Karyawan perempuan, apa pun profesinya, memiliki peluang menjadi teladan. Meski bukan direktur atau manajer, perannya sangat mungkin untuk jadi penopang kemajuan institusi. Seperti guru yang disiplin, sabar, dan terus belajar—itulah wujud nyata perempuan berdaya dalam menjalani perannya.

Keberdayaan juga tampak dalam peran ibu rumah tangga, yang sering dipandang sebelah mata. Meski tanpa gaji, ia memegang peran sentral dalam keluarga dan ekonomi, dari mengatur keuangan hingga mendidik anak. Dengan dedikasi penuh, ia membentuk generasi penerus yang akan melanjutkan masa depan dunia.

Peran perempuan sebagai istri juga krusial. Ia bukan sekadar menjadi “pendamping”, melainkan mitra hidup yang setara. Ia menciptakan keseimbangan emosional dalam keluarga lewat dukungan, kompromi, dan komunikasi sehat. Kesadarannya membangun relasi yang setara dan empatik menjadi fondasi rumah tangga yang utuh.

Perempuan hadir dalam beragam peran—petani, pedagang, perawat, hingga aktivis. Esensi peran mereka tak terletak pada apa yang mereka lakukan, tetapi pada bagaimana mereka menjalaninya dengan sepenuh hati.

Satu hal yang harus kita sadari, yaitu tidak ada tolok ukur tunggal bagi keberhasilan perempuan. Kesuksesan bukan soal jabatan, gaji, atau gelar, melainkan seberapa dalam ia mengakar pada nilai hidupnya. Keberdayaan bukan kompetisi antargender (atau bahkan antarsesama perempuan), tetapi tentang menjalani peran dengan penuh kesadaran dan menjadi resourceful dalam prosesnya. Kesuksesan perempuan bisa berarti menyekolahkan adik, mengelola emosi saat mengasuh anak berkebutuhan khusus, atau bangkit dari kegagalan. Kesuksesan milik siapa pun yang hidup dengan kesadaran, niat baik, dan keberanian menjadi versi terbaik dirinya.

Warisan terbesar dari Kartini tidak hanya sekolah yang didirikannya atau surat-surat yang ia tulis. Warisan terbesarnya adalah keberaniannya untuk berpikir, mempertanyakan, dan berjuang menjadi versi terbaik dari dirinya—meskipun (saat itu) seluruh dunia menentangnya.

Perempuan Indonesia kini hidup di dunia yang sangat berbeda dengan Kartini. Namun tantangannya masih sama, yaitu bagaimana menjadi diri sendiri di tengah tuntutan sosial yang kerap kali membingungkan. Ingat, “tuntutan sosial” itu seringkali hanya ilusi yang hadir melalui dunia maya. Menjadi “Kartini masa kini” berarti berani memilih jalan hidup dan menjalaninya dengan kesadaran penuh dan bertanggung jawab.

Pada peringatan Hari Kartini ini, mari kita sama-sama merenung: apakah kita telah hadir sepenuhnya dalam peran kita masing-masing? Apakah kita menjalani peran itu dengan penuh kerelaan dan tanggung jawab? Apakah kita telah berkontribusi nyata melalui peran yang kita jalani tersebut?

Setiap perempuan punya medan perjuangannya dan kesuksesan sendiri, yaitu pada saat kita berhasil menjalaninya dengan sebaik mungkin.

Selamat Hari Kartini!

Penulis: Diah Lucky Natalia

Editor: Astrid Prahitaningtyas

Artikel terkait:

Share :

Related articles