Sebagai negara megadiverse, Indonesia adalah rumah bagi keajaiban hayati dunia. Namun di tengah deforestasi dan krisis iklim, kekayaan itu kian terancam. Bisakah kita benar-benar menjaganya?
Setiap tanggal 5 November, Indonesia memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Peringatan ini lahir dari gagasan Presiden Soeharto pada Upacara Pencanangan Tahun Lingkungan Hidup pada 1993, sebagai wujud kecintaan pada flora dan fauna Nusantara. Tujuan utama Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional adalah meningkatkan kepedulian, perlindungan, dan pelestarian puspa dan satwa nasional, sekaligus mengingatkan akan pentingnya peran mereka dalam kehidupan kita.
Ada beberapa satwa dan bunga yang ditetapkan sebagai identitas nasional serta pengukuhan namanya melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993, yaitu:
1. Tiga jenis satwa nasional, yaitu:
- Komodo (Varanus komodoensis), sebagai satwa nasional.
- Ikan Siluk Merah (Sclerophages formosus), sebagai satwa pesona.
- Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), sebagai satwa langka.
2. Tiga jenis bunga nasional, yaitu:
- Melati (Jasminum sambac), sebagai puspa bangsa.
- Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis), sebagai puspa pesona.
- Padma Raksasa (Rafflesia arnoldii), sebagai puspa langka.
Ketiga kategori ini mewakili keindahan, keunikan, dan kelangkaan hayati Indonesia, sekaligus menjadi simbol betapa kayanya negeri ini dengan spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Convention on Biological Diversity merilis bahwa Indonesia adalah salah satu dari tujuh belas negara megadiverse karena beberapa alasan antara lain memiliki 10% spesies bunga dunia, dua puluh empat kawasan burung endemik dan salah satu pusat agrobiodiversitas dunia untuk kultivar tanaman dan ternak peliharaan.
Peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional menjadi relevan dengan keadaan tersebut karena meskipun Indonesia termasuk negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi, tetapi juga menghadapi kecepatan kehilangan flora dan fauna akibat berbagai tekanan: perubahan penggunaan lahan, deforestasi, perburuan liar, perdagangan satwa dilindungi, perubahan iklim, fragmentasi habitat, dan sebagainya.
Data konkret menunjukkan ancaman ini nyata. Siaran pers Kementerian Kehutanan mencatat deforestasi netto tahun 2024 sebesar 175,4 ribu hektar. Angka ini didapat dari deforestasi bruto (216,2 ribu hektar) yang sebagian besar terjadi di hutan sekunder, dikurangi reforestasi. Data ini selaras dengan temuan lain dari Forest Watch Indonesia, yang melaporkan 1,66 juta hektar deforestasi terjadi antara tahun 2021–2023. Tren ini menunjukkan bahwa setiap tahun Indonesia kehilangan ribuan hektar hutan, yang merupakan rumah penting bagi ribuan spesies endemik.
Hutan tidak hanya sekadar kumpulan pepohonan, tetapi merupakan sumber kehidupan yang menjaga air tetap terserap ke dalam tanah, udara tetap bersih, dan suhu bumi tetap stabil. Ketika laju deforestasi semakin meningkat, manusia langsung merasakan akibatnya, entah dalam bentuk banjir bandang yang merusak pemukiman atau kabut asap yang menyesakkan napas akibat kebakaran hutan yang tak terkendali. Hilangnya tutupan hutan juga membuat tanah lebih rentan longsor serta mengusir satwa dari habitatnya sehingga keseimbangan alam terganggu. Karena itu sudah seharusnya setiap pihak yang berperan, baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat, sungguh-sungguh menjaga hutan sebagai ruang hidup yang saling terhubung antara manusia dan alam. Melindungi hutan berarti menjaga masa depan kehidupan di bumi yang kita tempati bersama.
Selain kehilangan tutupan hutan, ancaman lain datang dari perubahan iklim global yang memperparah kondisi habitat alami. Perubahan suhu, kebakaran hutan, dan bencana ekologis menyebabkan spesies dan ekosistem Indonesia yang terancam keberadaannya misalnya harimau sumatera, terumbu karang, dan macan tutul jawa. Jika tidak ada langkah serius, sebagian spesies itu bisa punah dalam beberapa dekade mendatang.
Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional menjadi pemantik bagi seluruh elemen masyarakat mulai dari pemerintah, dunia usaha, komunitas lokal, akademisi, hingga pelajar untuk bergerak bersama. Sebagai contoh, sebuah lembaga konservasi melaporkan pelepasliaran tiga individu orangutan hasil rehabilitasi sebagai bagian dari peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional.
Mencintai puspa dan satwa tidak harus menunggu momen besar. Setiap individu dapat berkontribusi dengan cara sederhana, seperti:
- Tidak membeli produk dari satwa dilindungi, seperti gading, kulit, atau tanaman langka.
- Mengurangi penggunaan plastik yang berpotensi mencemari habitat laut
- Mendukung program konservasi, baik secara langsung maupun melalui donasi.
- Menanam pohon lokal atau menjaga taman kota agar menjadi habitat bagi burung dan serangga penyerbuk.
Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momen reflektif untuk menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga kekayaan alam Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi, tantangan global dan perubahan iklim yang kian cepat, Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional menjadi pengingat bahwa hubungan manusia dengan alam harus tetap harmonis. Menjaga alam bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan moral dan ekologis.
Mari jadikan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional sebagai pengingat bahwa keberlanjutan hidup manusia bergantung pada keseimbangan dengan alam. Jika kita menjaga puspa dan satwa hari ini, maka generasi mendatang masih bisa menikmati keindahan komodo di Nusa Tenggara, harumnya melati di halaman rumah, dan mekarnya padma raksasa di hutan tropis Sumatera.
Penulis: Yanti Damayanti
Editor: Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait:
