Peringatan Hari Kartini seringkali identik dengan pawai kebaya atau baju adat. Sering juga diadakan perlombaan masak, menghias tumpeng, dan sebagainya. Tak ada yang salah dari kegiatan itu, tapi apa sebenarnya esensi dari peringatan Hari Kartini? Simak artikel ini.
Berapa banyak dari kita yang mengadakan pawai kebaya atau baju adat untuk memperingati Hari Kartini? Tak dipungkiri acara semacam itu masih banyak dilakukan di sekolah-sekolah. Andai pun tidak diadakan pawai, para siswa mengenakan kebaya pada tanggal 21 April tersebut.
Memang tidak ada yang salah dengan acara itu, tapi jangan sampai fokus kita terhadap esensi Hari Kartini jadi teralihkan karena kesibukan dalam mempersiapkan kebaya, riasan, sanggul, dan aksesorisnya. Sebagai orang tua dan pendidik, kita harus memberikan pengetahuan dan kesadaran pada generasi muda mengenai makna dari peringatan tersebut, yaitu semangat perjuangan Kartini.
Ifa Aryani, aktivis di lembaga perempuan dan anak, Rekso Dyah Utami Yogyakarta melalui VOA Indonesia mengatakan perjuangan Kartini untuk menyetarakan hak perempuan dengan laki-laki, pada waktu itu dalam hal pendidikan, adalah hal yang paling penting untuk diperingati. Juga tentang aktualisasi otonomi tubuh perempuan, agar bisa keluar dari kungkungan tradisi. Bukan sekedar emansipasi, tapi bagaimana perempuan dapat membuat perubahan.
Penting juga untuk memberikan pemahaman tentang mengapa Kartini diperingati secara khusus, padahal banyak juga tokoh perempuan Indonesia lainnya yang berjuang, baik secara fisik di medan perang maupun yang secara intelektual. Bahkan jika ditilik lebih lanjut, Kartini justru terkesan tak kuasa melawan “kodrat”, menuruti perjodohan oleh orang tuanya untuk menjadi istri keempat bupati Rembang saat itu, dan meninggal di usia muda, empat hari setelah melahirkan putranya.
Tak seperti Maria Walanda Maramis yang mendirikan PIKAT, atau Dewi Sartika yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri, Kartini tak sempat mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan sekolah formal, hanya bisa membuat “sekolah” kecil di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Jika merujuk pada perlawanan terhadap Belanda, Kartini justru dekat dengan orang-orang Belanda, tidak seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, atau Martha Christina Tiahahu yang mengangkat senjata di medan perang. Serta tak seperti Ruhana Kuddus yang mendirikan surat kabar Soenting Melajoe, Kartini “hanya” menuliskan surat-surat yang ditujukan pada sahabat-sahabatnya yang orang Belanda. Dan bahkan Sekolah Kartini yang baru berdiri pada tahun 1913, sembilan tahun setelah meninggalnya Kartini, di bawah naungan Kartini Vereeniging (Yayasan Kartini), adalah prakarsa dari Conrad Theodore van Deventer yang merupakan anggota Dewan Negara Belanda sekaligus juru bicara Gerakan Politik Etis Belanda.
Meskipun demikian, kekuatan pemikiran Kartini yang melampaui ruang dan waktu itu yang menjadikannya sebagai ikon. Kerinduannya akan kesetaraan gender, kelas, dan antar-bangsa antara orang bumiputera dan orang Belanda yang menjadikannya juru bicara kaum perempuan lintas zaman. Tak sekedar menginginkan kemajuan bangsa, Kartini juga mengkritik tradisi adat dan pemikiran keagamaan yang terlalu kolot.
Selang setahun setelah terbitnya surat-surat Kartini di Belanda, gagasan-gagasan Kartini segera menyebar di kalangan intelektual bumiputera. Cipto Mangunkusumo mencetuskan ide pembentukan Kartini Klub, wadah diskusi untuk menyatukan kaum terpelajar dan mencapai kesetaraan berbangsa. Kartini menjadikan ide-idenya sebagai “senjata”, karena ia sadar bahwa penjajahan bukan hanya terjadi pada ranah ekonomi dan politik, tapi juga sosial dan budaya. Ia melihat bahwa budaya feodal yang dilanggengkan oleh kolonialisme adalah sebuah pembodohan bangsa.
Kartini yang tak berdaya dalam menentukan masa depannya sendiri itu telah menjadi martir bagi kemajuan bangsa, demi membebaskan dari belenggu tradisi yang merugikan harkat dan martabat perempuan. Isu-isu poligami, perjodohan, pernikahan usia dini, dogma agama yang mengekang kaum perempuan seperti yang tertulis dalam surat-suratnya masih relevan hingga masa kini. Ide dan cita-cita Kartini yang progresif itulah yang membuatnya menjadi, tak sekedar tokoh sejarah, tapi juga inspirasi bagi perempuan segala zaman.
Selamat Hari Kartini!
Penulis : Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait :