Literasi dan Digitalisasi

literasi

Era digitalisasi membuka peluang besar bagi Indonesia, tetapi keterbatasan literasi dasar masih menjadi hambatan utama dalam memaksimalkan manfaat teknologi digital.

Tahun ini, Hari Literasi Internasional mengajak semua untuk menggalakkan literasi di tengah era digital. Di Indonesia, ajakan ini mengandung ragam masalah mendalam yang cukup pelik.

Tingkat melek aksara di Indonesia memang tinggi secara statistik, yaitu 96,678%. Namun minat baca dan tingkat literasi Indonesia masih sangat rendah. Pegiat literasi, Maman Suherman, yakin bahwa permasalahan rendahnya minat baca terdapat pada rendahnya akses terhadap bahan bacaan.

Digitalisasi seharusnya dapat meningkatkan literasi hingga daerah-daerah terpencil karena e-book, jurnal digital, dan berbagai platform pembelajaran daring bisa menawarkan alternatif bacaan dan literasi yang lebih terjangkau, baik secara akses maupun biaya. Platform digital juga memungkinkan penyediaan konten dalam berbagai format yang menarik, seperti multimedia interaktif dan video pembelajaran yang dapat meningkatkan minat baca dan belajar anak-anak.

Sayangnya, di Daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) akses terhadap internet yang merupakan jendela dunia versi digital masih terbatas. Hal ini secara otomatis juga membatasi akses terhadap bacaan berkualitas. Akibatnya, terciptalah kesenjangan digital yang signifikan antara anak-anak di daerah terpencil dengan anak-anak di daerah perkotaan.

Situasi ini diperparah dengan fenomena digital yang memungkinkan akses tak terbatas terhadap informasi tetapi tidak selalu disertai dengan kemampuan berpikir kritis untuk menyeleksi konten yang bermanfaat. Tidak sedikit anak-anak dengan akses internet yang kemudian mengalami penurunan kerja otak atau brain rot. Penyebabnya adalah paparan pada informasi yang terlalu banyak (information overload) dan fokus mereka untuk mengejar kesenangan instan yang semu dari konten-konten yang kurang bermanfaat dan tidak edukatif (instant gratification). Dua fenomena ini terbukti menurunkan rentang konsentrasi, mengganggu kerja memori otak, dan menyebabkan masalah kecanduan.

Algoritma media sosial dan platform digital cenderung mengarahkan pengguna pada konten yang lebih sensasional daripada edukatif guna mendulang engagement. Anak-anak, yang pemikiran kritisnya belum matang, akhirnya mudah terpapar pada konten hiburan yang superfisial dan tidak mendidik, bahkan berbahaya. Selain terpapar secara pasif, anak-anak juga kerap memilih konten-konten yang kurang bermanfaat karena materi edukatif memerlukan usaha kognitif yang lebih besar. Ketika anak mulai mengalami brain rot, maka bisa diprediksi bahwa mereka juga akan semakin menghindari konten edukatif yang membutuhkan otak untuk bekerja lebih keras. Alih-alih meningkatkan literasi, digitalisasi ini malah berpotensi menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Oleh sebab itu, era informasi dan digitalisasi ini perlu diawasi dengan baik oleh orang-orang dewasa yang bertanggung jawab: orang tua, pendidik, masyarakat umum, hingga pemerintah. Selain menyaring konten-konten tidak bermutu dari konsumsi anak-anak, generasi muda juga perlu dilatih untuk menganalisis informasi agar bisa mengidentifikasi dan memilih konten yang bermanfaat (baca Literasi: Bukan Sekadar Mengenal Abjad).

Digitalisasi memiliki potensi besar untuk menjadi katalis peningkatan literasi di Indonesia, terutama dalam menjangkau daerah-daerah yang sebelumnya sulit diakses oleh buku konvensional. Kunci keberhasilannya ada pada pemerataan akses digital, pengembangan cara berpikir kritis, dan panduan dalam berinternet sehat agar anak-anak tidak sekedar mendapat akses ke dunia digital, tetapi juga dapat mengarunginya dengan sehat dan membawa maslahat bagi diri sendiri dan sesama.

Inilah perjuangan Indonesia: mengusung literasi dan digitalisasi sehat demi pertumbuhan dan perkembangan generasi muda yang berkualitas.

Penulis: Dania Ciptadi

Editor: Astrid Prahitaningtyas

Artikel terkait:

Share :

Related articles