Teknologi yang terus berkembang menuntut kita untuk membekali anak dengan nilai moral dan literasi digital. Kebijakan berorientasi keluarga menjadi kunci untuk membentuk karakter dan mendukung tercapainya SDGs 2030.
PBB menetapkan tanggal 15 Mei sebagai International Day of Families. Tema tahun ini adalah Kebijakan Berorientasi Keluarga untuk Pembangunan Berkelanjutan, berfokus pada kebijakan publik yang berorientasi keluarga dalam rangka mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Sebagai digital native, anak-anak akrab dengan teknologi sejak dini. Dampak positifnya adalah memudahkan akses informasi dan membuat belajar lebih menyenangkan. Namun, mereka juga rentan terhadap dampak negatif seperti kecanduan, kurang interaksi sosial, masalah kesehatan, dan risiko keamanan siber. Menurut UNICEF, 89% anak Indonesia sudah menggunakan gawai sejak balita, dengan rata-rata waktu 5,4 jam per hari untuk gim daring dan media sosial.
Transformasi digital telah mengubah tatanan dunia termasuk keluarga dan anak-anak. Bagaimana peran pemangku kebijakan, pendidik dan orang tua dalam hal ini?
Peran Strategis Keluarga dan Pendidik dalam Literasi dan Proteksi Digital
Di era digital, orang tua dan guru berperan penting dalam membentuk karakter anak, mengawasi penggunaan teknologi, dan mengajarkan etika digital. Bimbingan yang tepat membantu anak memanfaatkan teknologi secara positif dan menghindari dampak buruknya.
Keluarga adalah tempat pertama anak mengenal internet. Untuk mencegah dampak buruknya, penting menerapkan budaya digital seperti membatasi waktu gawai, melakukan detoks digital, menggunakan aplikasi kesehatan, dan lainnya.
Kebijakan Berorientasi Keluarga
Sustainable Development Goals (SDGs) PBB mencakup 17 tujuan global untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet, dan menjamin kesejahteraan semua orang, dengan target spesifik hingga 2030.
Indonesia mengadopsi SDGs melalui RPJPN 2025–2045. Untuk mewujudkan Arah Pembangunan Keluarga Berkualitas yang relevan dengan zaman, kebijakan Pemerintah perlu menyesuaikan dengan dinamika generasi digital, seperti:
1. Literasi Digital Sejak Dini
Arah Pembangunan No. 2 dalam RPJPN adalah Pendidikan Berkualitas, yang perlu didukung dengan integrasi literasi digital dalam kurikulum PAUD dan pendidikan dasar. Ini tidak hanya meningkatkan keterampilan teknologi anak, tetapi juga membentuk moral mereka.
Banyak yang belum paham cara mendampingi anak di dunia digital. Karena itu, pembentukan Keluarga Berkualitas perlu didukung pelatihan intensif bagi guru dan orang tua tentang penggunaan teknologi untuk pembelajaran dan pengasuhan digital yang aman. Tujuannya adalah:
- Mengimbangi kemampuan anak dalam menggunakan gawai dan aplikasi.
- Menjadi figur teladan bagi anak dalam memanfaatkan teknologi digital secara cerdas, kritis,dan produktif
- Membimbing anak-anak dalam mengeksplorasi fitur yang sesuai dengan rentang usia dan kebutuhan mereka.
2. Perlindungan Anak di Dunia Digital
Perlindungan Sosial yang Adaptif, Hukum Berkeadilan serta Regulasi dan Tata Kelola yang Bersinergi sebagai arah pembangunan menjadi landasan Kementerian Komunikasi dan Digital mengeluarkan Peraturan Perlindungan Anak di Ranah Digital. Tujuannya agar anak-anak tumbuh secara kreatif, serta sehat jiwa dan raga. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh ancaman judi online, cyberbullying dan perlindungan data pribadi anak
3. Akses Teknologi yang Adil dan Inklusif
Untuk mendukung Transformasi Digital dan Pendidikan Berkualitas yang Merata, perlu kebijakan penyediaan internet murah atau gratis bagi keluarga miskin dengan anak usia sekolah, serta digitalisasi sekolah inklusi di wilayah 3T, karena banyak anak di daerah terpencil kesulitan belajar daring dan mengakses informasi.
4. Pengembangan Ekosistem Teknologi Edukatif Ramah Anak
Untuk mewujudkan IPTEK, Inovasi dan Produktivitas Ekonomi ramah anak, kita memerlukan kebijakan yang mengatur:
- Pemberian insentif untuk startup dan pelaku industri kreatif yang memproduksi aplikasi, gim, atau platform edukasi berbasis budaya lokal.
- Kolaborasi antara pemangku kepentingan pendidikan dalam menciptakan teknologi pendidikan berbasis AI untuk anak.
Belajar dari Dunia
Beberapa negara telah menetapkan regulasi penggunaan teknologi oleh anak-anak, yaitu:
- Jerman memiliki salah satu sistem perlindungan anak paling ketat di Eropa, dengan undang-undang federal yang mengatur perlindungan anak di berbagai lini, mulai dari ruang publik, media (luring dan daring), hingga ruang domestik.
- Australia mewajibkan platform media sosial melakukan pembatasan usia untuk mencegah anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial. Perusahaan yang tidak mematuhi akan dikenai denda hingga AUD 49,5 juta.
- Inggris Raya mewajibkan platform daring untuk menerapkan standar privasi dan keamanan yang ketat bagi pengguna di bawah 18 tahun. Perusahaan yang tidak mematuhi akan dikenai denda sebesar hingga 10% dari pendapatan global mereka.
- Prancis mewajibkan perusahaan platform media sosial untuk mendapatkan izin orang tua bagi anak di bawah 15 tahun untuk memiliki akun. Otoritas Prancis akan menjatuhkan denda hingga 1% dari pendapatan global kepada platform yang gagal mematuhi aturan ini.
- Amerika Serikat memberlakukan persyaratan tertentu pada operator platform digital yang membatasi pengumpulan data anak-anak di bawah 13 tahun, serta mewajibkan verifikasi usia dan izin orang tua untuk pembuatan akun media sosial.
Anak-anak tumbuh seiring perkembangan teknologi, sehingga keduanya memiliki hubungan erat. Karena itu, perlu peran dan kerja sama semua pihak untuk melindungi mereka dari dampak buruk teknologi.
- Keluarga: membangun relasi digital yang sehat dan terbuka. Keluarga merupakan langkah awal anak menuju masa depan digital yang berdaya.
- Sekolah: membentuk transparansi digital dalam pembelajaran. Guru bukan hanya bertugas menyampaikan bahan ajar, tetapi juga menjadi mentor bagi siswa.
- Pemerintah: kebijakan berorientasi keluarga harus menempatkan anak dan teknologi sebagai prioritas dalam pembangunan berkelanjutan dengan cara mengintegrasikan proteksi digital anak ke dalam kebijakan keluarga dan pendidikan.
Mari bergerak bersama untuk masa depan yang lebih baik. Untuk itu, REFO kembali menggelar Indonesia Future of Learning Summit (IFLS) dengan tema “AI-ducated: Unlocking The Future with AI Skills and Beyond”, yang memanggil kita untuk membuat keputusan strategis sekarang sehingga anak-anak kita tidak hanya siap untuk apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi juga diberdayakan, baik secara mental maupun emosional, untuk memimpin di masa depan.
IFLS 2025 akan menghadirkan para pakar dalam bidang pendidikan, penyusun kebijakan, orang tua siswa, serta psikolog anak dan remaja. Sehingga kita akan bersama-sama melihat pendidikan dengan sudut pandang 360 derajat, demi menciptakan Generasi Emas.
Ingin tahu lebih lanjut tentang IFLS 2025? Hubungi REFO di nomor ini, ya.
Penulis: Yanti Damayanti
Editor: Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait: