Mengajarkan Senyawa Kimia dengan Cara yang Asyik

mata pelajaran kimia

Sains, terutama kimia, merupakan salah satu mata pelajaran yang sering dianggap sulit oleh siswa. Bagaimana cara mengajarkannya dengan lebih menyenangkan? Yuk, simak artikel ini.

Kimia dianggap sebagai salah satu materi yang paling sulit oleh sebagian besar siswa SMA, hal ini tercermin dari hasil belajar siswa yang cenderung rendah dalam pelajaran kimia. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya kesulitan belajar yang dihadapi siswa, meskipun bentuk kesulitannya belum jelas. Mari kita bahas lebih lanjut.

Mengapa kimia itu sulit?

Ada beberapa alasan mengapa mata pelajaran ini dianggap sulit. Pertama, kimia dianggap membosankan, karena seringkali diajarkan dengan cara yang sangat konvensional, yaitu ceramah (komunikasi satu arah) dan hafalan. Kedua, meskipun dalam mata pelajaran ini terdapat aktivitas praktikum, seringkali aktivitas ini masih berdasarkan buku teks dan kurang relevan dengan pengalaman sehari-hari. Siswa seringkali tidak bisa menemukan benang merah dari praktikum itu dengan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Mengajar kimia, terlebih senyawa kimia, memerlukan strategi yang cermat. Untuk apa siswa harus menghafalkan jenis-jenis senyawa asam dengan penamaannya yang satu kata saja bisa sampai puluhan huruf? Guru Kimia perlu membantu siswa mendapatkan konteks yang lebih luas untuk menempatkan materi senyawa kimia. Dengan demikian pembelajaran ini menjadi lebih bermakna.

Solusi: Storytelling!

Salah satu cara yang bisa digunakan untuk membuat pembelajaran lebih menarik adalah dengan storytelling. Siapa yang tidak suka storytelling? Semua orang suka cerita! Kita bisa melihat bagaimana sinetron dan infotainment diminati oleh banyak orang, karena dua program tersebut menyampaikan informasi dengan bercerita.

Preferensi terhadap aktivitas bercerita ini bukan tanpa alasan. Dengan aktivitas bercerita, pendengar terbantu memahami konsep yang sulit dan membantu mereka menemukan keterkaitan dengan dunia nyata. Selain itu, metode ini menyenangkan! Mendengar cerita tidak membutuhkan aktivitas kognitif yang tinggi. Kita lebih mudah mengingat kisah yang disampaikan dibandingkan mengingat detail informasi yang disampaikan melalui kisah tersebut.

Lalu, bagaimana seharusnya guru mengajarkan senyawa kimia dengan bercerita? Apakah guru harus bercerita tentang sejarah garam? Tentu tidak.

Bagaimana menggunakan storytelling untuk mengajar kimia?

Rita, seorang guru di salah satu sekolah di Bandung, memiliki cara yang menarik dalam menggunakan metode bercerita untuk mengajarkan senyawa kimia. Ia mengajak siswa kelas 10 untuk membuat cerita anak-anak menggunakan senyawa kimia yang telah dipelajari. Cerita ini akan dibacakan untuk anak-anak kelas 2.

Tentunya, aktivitas tetap dimulai dengan pembelajaran “konvensional”. Siswa harus menghafalkan nama, jenis, dan karakteristik senyawa kimia. Bagian “membosankan” yang memang harus dilewati. Namun, bagian membosankan ini tidak perlu lama-lama dilakukan, karena setelah itu para siswa akan dibagi menjadi beberapa kelompok.

Setiap kelompok menentukan alur cerita yang akan mereka gunakan, kemudian memilih senyawa kimia yang akan dimasukkan ke dalam cerita tersebut. Setelah itu, para siswa mulai mengembangkan buku cerita mereka dengan merangkai kalimat sederhana dan memilih diksi yang mudah dipahami oleh anak kelas 2.

Pada bagian ini, tantangan mulai muncul. Meskipun sejak awal mereka diizinkan untuk menggunakan AI, tetapi hasil yang diberikan AI tidak selalu sesuai dengan yang mereka inginkan. Pemilihan kalimat dan diksi tetap harus mereka periksa secara manual, agar benar-benar dapat dipahami oleh anak kelas 2.

Bagian berikutnya, yang tidak kalah menantang, adalah membuat ilustrasi. Siswa mulai menemukan bahwa gambar dan ilustrasi yang dihasilkan AI tidak selalu konsisten dengan alur cerita dan penokohan yang mereka buat. Akhirnya, mereka menyiasatinya dengan menggunakan beberapa gambar yang dibuat dengan AI, tetapi ada juga beberapa karakter yang mereka buat sendiri dengan menggunakan editor grafis seperti Canva.

Setelah proses pembuatan buku cerita selesai, masuklah tahap peer review. Siswa memeriksa dan memberikan saran perbaikan terhadap buku cerita yang telah dibuat kelompok lain. Seorang siswa tinggal untuk menjelaskan hasil karya kelompoknya, lalu anggota lainnya berpencar untuk mengamati hasil karya kelompok lain.

Dari hasil peer review ini, mereka melakukan perbaikan yang diperlukan, misalnya penyederhanaan kalimat pada beberapa bagian, atau mengurangi ilustrasi yang tidak diperlukan. Pada bagian ini mereka melakukan perbaikan akhir secara menyeluruh untuk memastikan buku cerita ini siap dipresentasikan. Mereka juga mempersiapkan aktivitas pelengkap untuk anak-anak kelas 2 agar sesi bercerita menjadi lebih menarik.

Pada bagian terakhir, siswa kelas 10 bercerita dan melaksanakan berbagai aktivitas yang telah direncanakan seperti tanya jawab, tebak kata, dan teka-teki. Mereka membagi tugas,  ada yang bercerita, atau yang memimpin aktivitas, dan sebagainya.

Bagaimana hasilnya?

Keseluruhan aktivitas ini membutuhkan waktu kurang lebih 13 hari. Persepsi siswa kelas 10 terhadapnya cukup beragam, tetapi secara umum positif. Mereka merasa puas dengan keseluruhan aktivitas, meskipun ada beberapa bagian yang kurang maksimal. Mereka belajar mengaplikasikan konsep kimia dalam konteks dunia nyata melalui cerita-cerita sederhana. Proyek ini berhasil membantu siswa kelas 10 belajar kimia dengan cara yang lebih menyenangkan.

Tertarik untuk mereplikasi metode ini? Laporan lengkap proses mengajar Rita bisa dilihat di sini dan hasil karya buku cerita yang telah dibuat bisa dilihat di sini.

Penulis: Christophorus Ardi Nugraha

Artikel terkait:

Share :

Related articles