Kenakalan remaja menimbulkan banyak dampak destruktif. Perlu intervensi tegas dari unit terkecil, seperti keluarga, hingga lingkungan terluar. Tentunya agar mental generasi muda Indonesia terselamatkan.
Fenomena kenakalan remaja terus berlanjut. Beberapa waktu belakangan, kita masih sering mendengar kasus-kasus kriminal yang dilakukan kelompok umur ini, seperti tawuran, pesta miras, pengeroyokan, dan perundungan.
Tabel di atas diambil dari data Sebaran Kasus Kekerasan KemenPPPA, dan menunjukkan bahwa jumlah pelaku kekerasan kelompok usia 13 – 17 tahun sebesar 14,5%. Artinya, dari 18.470 total jumlah kasus kekerasan terlapor, pelaku remaja berjumlah 2.678.
Hal ini dapat berimplikasi negatif, mengingat mereka adalah generasi penerus yang merupakan “bonus demografi” pada 2030 nanti. Mereka juga yang nantinya akan menjadi tumpuan ambisi kita menuju Indonesia Emas 2045.
Sebenarnya, ada apa dengan remaja Indonesia saat ini? Apakah ini akibat dari penetrasi teknologi yang tidak bisa dibendung? Mungkinkah akibat fondasi nilai dalam keluarga yang semakin luntur? Di mana posisi pendidik untuk mengintervensi fenomena ini?
Krisis identitas
Membicarakan remaja, kita perlu memahami tahapan perkembangan manusia agar dapat memahami dunia remaja. Berdasarkan teori perkembangan psikososial Erik Erikson, kita bisa sedikit banyak memahami apa yang sedang dialami anak-anak ini. Dalam buku yang ditulis oleh Papalia dan Martorell Experience Human Development (5th ed.) (2024), fase ini merupakan masa chaos remaja yang terejawantah dalam perilaku mereka.
Linda A. Camras dalam bukunya yang berjudul Emotional Development Across the Lifespan (2022) memperkenalkan terminologi storm and stress pada remaja untuk mendeskripsikan masa penuh gejolak dan masalah dalam perilaku, emosi, dan hubungan intrapersonal. Istilah ini sangat tepat untuk menggambarkan perubahan kondisi biologis yang berkaitan dengan reaktivitas emosi anak. Di dalamnya juga terdapat pengaruh hormon yang tentu sangat memengaruhi suasana hati dan perilaku anak.
Suasana hati dan perilaku yang “sudah dari sananya” dan sedang bergejolak ini dapat diperburuk atau diredam oleh lingkungan sosialnya. Erik Erikson meyakini bahwa pada fase remaja inilah terjadi transisi agen sosial, dari yang awalnya adalah keluarga menjadi teman. Menurut Erikson, masa transisi ini dimulai pada usia 12–13 tahun dan berlanjut terus hingga usia 18 tahun. Remaja mencari identitasnya melalui penerimaan dari lingkungannya. Seringkali mereka mau melakukan apa saja demi mendapatkan pengakuan.
Inilah yang menjadi pemicu terjadinya kenakalan pada remaja. Ketika anak kita “salah pergaulan”, ia akan dengan sangat mudah terbawa pengaruh teman-temannya. Layaknya orang buta menuntun orang buta, anak-anak ini saling memengaruhi tanpa memahami dengan jelas bahwa perilaku mereka belum tentu benar.
Pertanyaan selanjutnya, apakah pengaruh itu hanya berasal dari pertemanan? Tidak bisa dipungkiri bahwa anak belajar dari contoh. Kekerasan atau kenakalan yang terwujud dalam perilaku juga dapat berasal dari trauma. Ilmu psikologi yang mempelajari tentang perilaku manusia memahami bahwa selalu ada sebab dari tiap akibat. Banyak hal yang dialami anak di fase sebelumnya yang berkaitan erat dengan sosialisasi perilaku dan emosi di dalam keluarganya.
Mengomentari kasus Mario Dandy yang sempat ramai dibicarakan, Psikolog Universitas Gadjah Mada Novi Poespita Chandra menyatakan bahwa pembelajaran emosi dan sosial dalam keluarga sangat memengaruhi perkembangan identitas diri anak, khususnya dalam membangun kesadaran diri dan meregulasi emosi.
Selain itu, ada faktor pembelajaran moral yang mungkin “terabaikan”. Ketika tuntutan finansial makin tinggi, orang tua terlalu sibuk memenuhi kebutuhan fisik keluarga dan mengabaikan pemenuhan kebutuhan psikis anak akan nilai-nilai moralitas. Ketidakhadiran orang tua sebagai agen sosial inilah yang membuat remaja, yang sedang dalam fase pencarian jati diri, “mencomot” nilai-nilai luar yang mereka temui di mana saja, untuk menjadi “pilar” identitasnya.
Pendidikan karakter
Banyak penelitian yang mengaitkan dampak pendidikan karakter untuk mengintervensi perilaku kenakalan remaja. Di dalam pendidikan, baik nonformal di rumah maupun di sekolah, pendidikan karakter terintegrasi ke dalam aktivitas sehari-hari, dengan materi-materi yang mungkin saja dikondisikan ataupun tidak.
Novi Poespita Chandra mengkritisi pendekatan yang dilakukan oleh sistem pendidikan Indonesia yang menurutnya masih bersifat materialistis, bukan humanis. Akibatnya, tidak disadari lingkungan memberikan positive encouragement untuk pencapaian-pencapaian dengan parameter intelektualitas, material, maupun kelebihan fisik. Pembelajaran emosi tidak dijadikan fokus pencapaian sehingga anak cenderung berperilaku tidak baik dan kurang bijak dalam merespons konflik.
Aini, dkk (2021) dalam artikel jurnal berjudul “Pendidikan Karakter dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Knowledge, Feeling, dan Acting” memaparkan pentingnya pendidikan karakter untuk membentengi kenakalan remaja. Pendidikan moral ini bisa diaplikasikan ke dalam silabus pendidikan atau diimplementasikan di dalam gaya parenting orang tua.
Dalam rangka World Non-Violence Day yang jatuh pada 2 Oktober, mari merenung, apa yang sudah kita usahakan untuk meminimalisasi–bahkan menihilkan–perilaku buruk pada remaja? Dapatkah kita membentuk anak-anak ini menjadi individu yang lebih menggunakan empati dan intelektualitasnya untuk berkarya? Mari kita siapkan mereka menjadi Generasi Emas yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga cerdas secara emosi.
Penulis: Lucky Diah Natalia
Artikel terkait: