Pratap Triloka Ki Hadjar Dewantara dalam Merdeka Belajar

hardiknas

Bukan hanya karena 2 Mei adalah kelahiran Ki Hadjar Dewantara, maka tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Namun ada esensi yang lebih mendalam.

Pada masa kolonial Belanda, pendidikan di Hindia Belanda terbatas untuk golongan tertentu, yaitu orang-orang Belanda dan kaum bangsawan pribumi. Lalu, lahirlah R.M Soewardi Soerjaningrat di lingkungan keluarga bangsawan Kadipaten Pakualaman. Berkedudukan sebagai priayi membuat Soewardi memiliki akses ke pendidikan, dari Europeesche Lagere School (sekolah dasar Eropa) hingga School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau sekolah pendidikan dokter pribumi, meskipun akhirnya ia tidak menyelesaikan pendidikan kedokteran tersebut.

Soewardi pernah bekerja sebagai wartawan di berbagai surat kabar. Ia juga aktif berpolitik. Bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij. Dalam memperjuangkan kemerdekaan, Soewardi pernah dipenjara bahkan dibuang. Hal ini tidak mengecilkan hatinya, tetapi justru semakin mengobarkan semangat juangnya. Selama masa pembuangannya di Belanda, Soewardi banyak menulis untuk memberikan informasi tentang kondisi Hindia Belanda yang sebenarnya demi meredam informasi bohong yang disebarkan pemerintah Belanda.

Berbagai rintangan, seperti penjara hingga pembuangan, menimbulkan ide bagi Soewardi untuk mencari jalan baru menuju kemerdekaan. Ia menyadari bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan nasionalisme, dan kedua hal itu harus ditanamkan sejak anak-anak. Soewardi mendirikan Sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Menurutnya, pendidikan adalah alat mobilisasi politik sekaligus penyejahtera umat. Pendidikan akan menghasilkan anak bangsa yang mampu memimpin serta memperjuangkan pendidikan yang setara dan merata.

Dengan semangat egaliter yang kuat, Soewardi bahkan  menanggalkan gelar kebangsawanan dan mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Hal ini guna menunjukkan keteguhan hatinya memilih keluhuran budi ketimbang aristokrasi, juga untuk menyetarakan kedudukannya dengan pribumi lainnya. Arti nama Ki Hadjar Dewantara (KHD) adalah “Bapak Pendidik Utusan Rakyat yang Tak Tertandingi Menghadapi Kolonialisme.”

KHD menilai bahwa pendidikan yang cocok untuk bangsa Timur adalah pendidikan humanis, kerakyatan, dan kebangsaan, yang mengarah pada politik pembebasan dan kemerdekaan. Berlandaskan pengalaman dan pengetahuannya, KHD menggabungkan model sekolah Montessori (Italia) dan Tagore (India). Menurutnya, dua sistem ini sangat cocok untuk diterapkan dalam pendidikan bumiputera.

Taman Siswa menekankan prinsip kemerdekaan dan kemandirian. Prinsip tersebut diungkapkan KHD dalam majalah Wasita pada 1928: “Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri”. Guna mencapai hal tersebut, ia menggagas Pratap Guru yaitu pedoman perilaku guru agar menjadi panutan siswa dan masyarakat, yang kemudian terkenal sebagai Pratap Triloka (trilogi kepemimpinan), yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Inilah dasar pendidikan Taman Siswa, dan dasar kependidikan Indonesia hingga saat ini.

Setelah kemerdekaan pun KHD berperan langsung dalam merumuskan sistem pendidikan nasional sebagai Menteri Pendidikan pertama di Indonesia. Dengan sepak terjangnya itu, tak heran jika kemudian, melalui Keppres RI Nomor 316 Tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan hari lahir KHD sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Seabad telah berlalu sejak berdirinya Taman Siswa, tetapi filosofi KHD tak lekang oleh waktu. Namun, apakah Pratap Triloka masih relevan diterapkan dalam konsep Merdeka Belajar?

Merdeka Belajar adalah sebuah pendekatan yang dilakukan supaya siswa dapat memilih pelajaran yang diminati, sehingga mampu memberikan sumbangsih terbaik dalam berkarya bagi bangsa. Tujuan dari Merdeka Belajar adalah agar setiap siswa dapat bertumbuh menjadi pembelajar mandiri yang mengembangkan kapasitasnya masing-masing secara optimal. Guru dan sekolah pun diberi kemerdekaan untuk berinovasi dan melakukan kegiatan pembelajaran yang kreatif.

Lalu, apa relevansi Pratap Triloka dalam Merdeka Belajar?

Ing Ngarsa Sung Tuladha secara harfiah berarti ‘di depan, jadilah teladan’. Profesi guru merupakan salah satu yang menjadi teladan dalam masyarakat Indonesia. Dalam konsep Merdeka Belajar, filosofi ini dapat diterapkan dalam beberapa hal, antara lain:

  1. Guru sebagai teladan pemelajar abadi. Agar siswa mau menjadi pemelajar yang mandiri, guru harus menjadi teladan dengan memperlihatkan bagaimana mereka juga mau terus belajar agar tidak ketinggalan zaman dan dapat berbagi pengetahuan mutakhir dengan siswanya.
  2. Guru yang tidak takut mengakui kesalahan. Guru juga manusia yang tak luput dari kesalahan. Ketika melakukan kesalahan, guru harus mampu menjadi teladan dalam mengakui kekurangannya serta menanggung konsekuensinya, jika diperlukan. Contoh sederhana, mengakui kesalahan dan meminta maaf saat terlambat masuk kelas. Gunakan momen tersebut untuk mengajarkan bahwa mengakui kesalahan adalah tindakan berani dan terpuji. Dengan meneladani hal tersebut, siswa akan berani mengakui kesalahan dan tidak lari dari konsekuensi, jika ada.

Ing Madya Mangun Karsa secara harfiah berarti ‘di tengah, membangun niat’. Dalam konsep Merdeka Belajar, filosofi ini semakin terasa karena guru diharapkan dapat menggerakkan dan membangun niat siswa untuk menjadi individu yang mandiri dan sukses.

Saat membimbing, guru dapat mengarahkan tanpa “menyuapi” secara langsung sehingga siswa dapat menemukan jalan atau solusinya sendiri. Cara ini akan mendorong pemikiran kritis serta membangun kepercayaan diri siswa dalam menghadapi persoalan serta memecahkan masalah.

Guru juga bisa memperkenalkan berbagai sumber bahan ajar di luar buku sekolah, ataupun teknik-teknik belajar yang kreatif agar siswa menjadi “petualang pengetahuan” dengan niat belajar yang tinggi tanpa harus menunggu instruksi dari gurunya.

Tut Wuri Handayani secara harfiah berarti “mengikuti dari belakang untuk memberi kekuatan”. Filosofi ketiga ini adalah yang paling tersohor, karena hingga saat ini masih terlihat pada lambang Kemendikbudristek. Dalam konsep Merdeka Belajar, filosofi ini dapat diterapkan dengan cara membiarkan siswa “mengepakkan sayapnya” sendiri saat proses belajar, bereksperimen, dan berusaha, tanpa banyak campur tangan dari guru.

Biarkan mereka belajar dari kesalahan. Motivasi mereka ketika gagal. Percayalah pada kemampuan siswa untuk berkembang, dan rayakanlah keberhasilan mereka. Guru cukup mengamati, mendampingi, dan menjadi pendorong. Hal ini akan menumbuhkan kepercayaan diri siswa untuk terus mencoba sampai berhasil, tanpa mudah menyerah saat terjadi kegagalan.

Jelas bukan benang merah antara Pratap Triloka KHD dengan konsep Merdeka Belajar? Satu abad tak membuatnya usang! Karena itulah, tepat jika pada hari kelahiran Pejuang Kemerdekaan Pendidikan Indonesia tahun ini, kita terus “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”!

Karena, kemerdekaan belajar adalah kemerdekaan manusia.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Penulis: Dania Ciptadi

Artikel terkait:

Share :

Related articles