Banyak cara merayakan Hari Kemerdekaan. Selain gegap gempita pesta dan aneka perlombaan, kita perlu menilik sejenak tentang esensial dari kemerdekaan itu sendiri.
Sudah 79 tahun kita merdeka, tak lagi berada di bawah bayang-bayang penjajah. Kita dapat bebas berpendapat, beragama, dan menentukan nasib. Kita bukan lagi budak, tetapi manusia yang memiliki hak penuh atas diri sendiri. Kita dapat berdikari, serta menentukan masa depan sendiri.
Perjuangan meraih kemerdekaan hanya dirasakan oleh generasi zaman dahulu, yang melewati periode pra dan pascamerdeka. Mereka merasakan perbedaan nyata dari dua periode tersebut, hal ini yang membuat kemerdekaan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi mereka.
Generasi-generasi selanjutnya mendengar kisah perjuangan para pendahulu tersebut hanya melalui buku-buku teks, dan mungkin hanya sebatas hafalan yang diwajibkan untuk menghadapi ujian. Terutama Generasi Z dan Alfa, yang lahir dan tumbuh dalam kemajuan teknologi, yang nyaris tak mengenal penjajahan. Kondisi ini menjadi tantangan bagi kita, orang tua dan pendidik, untuk menanamkan nasionalisme dan semangat perjuangan pada generasi muda. Karena hal tersebut menjadi sesuatu yang sifatnya niskala dalam konteks kehidupan saat ini.
Pemerintah sudah melakukan langkah strategis dengan memberikan porsi terhadap penanaman landasan ideologi melalui mata pelajaran. Sejak 2022, Pemerintah memperbarui mata pelajaran PPKn menjadi Pendidikan Pancasila pada Kurikulum Merdeka. Tujuan utamanya adalah memberikan pengalaman belajar yang lebih relevan dan menyenangkan agar generasi muda tidak hanya paham, tetapi dapat menerapkannya di dalam kehidupannya. Mata pelajaran ini beriringan dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang merupakan kegiatan ko-kurikuler berbasis proyek yang dirancang untuk menguatkan upaya pencapaian kompetensi dan karakter sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila yang disusun berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan.
Namun ternyata, mencetak generasi muda berkarakter Pancasila dengan nasionalisme yang tinggi itu tidak mudah. Survei yang dilakukan oleh Populix kepada lebih dari 1.000 responden di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan merasakan penurunan semangat nasionalisme, baik itu responden yang berasal dari Generasi X, Millennial, maupun Generasi Z. Lihat pada tabel di bawah ini.
Beberapa faktor penyebab penurunan tersebut, yaitu media sosial (71%), globalisasi (60%), dan pengaruh nilai budaya (56%).
Menurut Indah Tanip, Head of Research Populix, kita tidak bisa mengabaikan pengaruh media sosial terhadap fenomena ini. Informasi dalam media sosial yang tidak selalu akurat atau seimbang dapat memengaruhi persepsi dan pandangan generasi muda tentang bangsa dan negaranya. Ruang diskusi di media sosial sering kali dipenuhi oleh narasi dan opini yang bertentangan, menghasilkan polarisasi dan ketidaksepakatan.
Oleh karena itu, Pemerintah dan lembaga terkait perlu berperan aktif dalam memitigasi dampak negatif media sosial dan mempromosikan semangat nasionalisme yang sehat Edukasi tentang sejarah dan budaya bangsa serta keterampilan kritis dalam mengonsumsi informasi daring harus ditingkatkan. Pembentukan wadah-wadah diskusi yang inklusif dan mempromosikan dialog yang sehat di platform media sosial juga harus dipertimbangkan.
Dalam era di mana teknologi informasi semakin mendominasi kehidupan kita, menjaga semangat nasionalisme anak muda merupakan tantangan yang serius. Jika upaya tersebut dapat dilakukan secara holistik, generasi muda kita, di tengah globalisasi, akan memiliki fondasi karakter dan identitas yang kuat.
Jika ini terjadi, tentu mereka dapat menyaring berbagai informasi yang masuk: mengambil yang baik dan membuang yang buruk. Pada akhirnya, mereka dapat menggunakan kemerdekaan yang ada saat ini dengan lebih bertanggung jawab dan tetap berada di dalam batasan ideologi, fondasi, dan nilai-nilai budaya dan agama.
Mari rayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 dengan menerapkan prinsip kebebasan yang bertanggung jawab.
Penulis: Lucky Diah Natalia
Artikel terkait: