Gempuran produk impor menantang kita untuk tetap bisa mencintai produk dalam negeri. Kemampuan untuk bangga, mencintai, dan menggunakan produk lokal adalah salah satu bentuk nasionalisme.
Kebangkitan Nasional Indonesia adalah periode paruh pertama abad ke-20 di Hindia Belanda, ketika rakyat mulai memiliki kesadaran nasional sebagai “orang Indonesia”. Periode ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi nasional, seperti Boedi Oetomo (1908), Indische Partij (1912), Sarekat Dagang Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Partai Komunis Indonesia (1920), dan Partai Nasional Indonesia (1928). Hingga terselenggaranya Kongres Pemuda pada 27-28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Namun, sentimen terhadap nasionalisme tetap tinggi pada tahun 1930-an. Suara-suara yang menuntut perubahan tetap dibungkam, gerakan-gerakan nyata untuk memperjuangkan kemerdekaan tetap ditekan.
Perang Dunia II mengubah kondisi politik dunia secara dramatis, yang tentunya juga memengaruhi Hindia Belanda. Pada 1942 Jepang menginvansi Hindia Belanda, dan pemerintah Belanda tidak mampu mempertahankan koloninya. Namun dengan bantuan Sekutu, Belanda berusaha untuk melanjutkan kendali kolonialnya atas Hindia Belanda, sehingga terjadi pertempuran berdarah di Jawa. Pada tahun 1945, gagasan tentang “Indonesia” tak terbendung, hingga akhirnya kita merdeka pada 17 Agustus 1945, dengan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.
Tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Tanggal ini dipilih karena merupakan hari kelahiran Boedi Oetomo, organisasi nasional yang pertama kali terbentuk di periode Kebangkitan Nasional Indonesia.
Lebih dari seabad berlalu sejak kelahiran Boedi Oetomo, tetapi di zaman modern ini tampaknya kita kembali digempur dengan penjajah tak kasat mata. Salah satunya adalah maraknya produk impor yang dipasarkan di Indonesia. Mulai dari fesyen, makanan, hiburan, hingga teknologi, akan dianggap lebih edgy jika itu produk luar. Masyarakat Indonesia masih banyak yang berpikir bahwa menggunakan produk impor itu lebih bergengsi dan prestisius.
Padahal, mendukung produk dalam negeri adalah salah satu wujud patriotisme. Mengutip jurnal Mencintai Produk dalam Negeri sebagai Bentuk Nasionalisme terhadap Indonesia (2021), mencintai produk dalam negeri termasuk sikap bela negara atau nasionalisme. Begitu juga seperti yang dikatakan oleh Siswanto (2019) bahwa sikap nasionalisme yang dimiliki oleh seseorang menyebabkan mereka lebih memilih menggunakan produk dalam negeri dibandingkan dengan produk luar negeri.
Produk Indonesia mampu bersaing dengan produk impor. Kita harus meningkatkan minat berbelanja produk lokal untuk mengangkat citra dan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun global. Terutama produk-produk UMKM. Indonesia memiliki 65,5 juta UMKM, itu sama dengan 99% dari total unit usaha. Sektor UMKM terbukti berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61%, dan terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 97%.
Tema Harkitnas ke-166 Tahun 2024 adalah “Bangkit untuk Indonesia Emas”. Tema ini dipilih agar Harkitnas 2024 dapat membawa nilai-nilai semangat dan kekuatan untuk bangkit menuju Indonesia Emas.
Mari bangkitkan kembali nasionalisme dengan bangga, mencintai, dan selalu menggunakan produk asli Indonesia. Dengan begitu, kita turut membantu perekonomian bangsa. Dan bangsa yang kuat perekonomiannya adalah bangsa yang mampu bersaing secara global, dan kesejahteraan rakyatnya pun akan meningkat. Siapa tak ingin melihat Indonesia Emas yang kaya, kuat, dan teguh?
Selamat Hari Kebangkitan Nasional!
Penulis: Ega Krisnawati
Artikel terkait: