Di tengah krisis, anak perempuan rentan kehilangan akses pendidikan. Peran orang tua menjadi kunci agar mereka tetap belajar, tangguh, dan siap memimpin perubahan.
Ketika bencana, konflik, atau krisis ekonomi melanda, pendidikan sering menjadi korban pertama. Sekolah rusak, akses terputus, dan fokus beralih ke kebutuhan dasar. Dampaknya paling berat dirasakan anak perempuan, yang kerap menjadi kelompok pertama keluar dan terakhir kembali ke sekolah karena krisis memperparah kemiskinan, ketimpangan gender, serta norma sosial yang merugikan mereka.
Tahun ini, International Day of the Girl Child bertema “The girl I am, the change I lead: Girls on the frontlines of crisis.” Tema ini menegaskan bahwa anak perempuan bukan sekadar korban, melainkan calon pemimpin yang hak belajarnya harus dijaga. Di tengah krisis, orang tualah penjaga semangat belajar mereka.
Gambaran Global: Anak Perempuan Paling Rentan
- UNICEF mencatat sekitar 119 juta anak perempuan di dunia tidak bersekolah di tingkat dasar dan menengah, jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding anak laki-laki, terutama di wilayah konflik dan bencana berkepanjangan.
- UN Women melaporkan, di negara terdampak konflik dan kekerasan, anak perempuan 2,5 kali lebih mungkin tidak bersekolah dibanding anak laki-laki, dan 90% lebih berisiko putus di jenjang menengah.
- UNESCO memperkirakan 11 juta anak perempuan mungkin tidak kembali ke sekolah pascapandemi, dengan risiko tertinggi pada usia 12–17 tahun di negara berpendapatan rendah dan menengah bawah.
- UNICEF melaporkan bahwa lebih dari 400 juta anak terdampak gangguan belajar akibat bencana iklim, dan anak perempuan paling rentan karena sering ditarik dari sekolah untuk membantu pekerjaan rumah atau merawat keluarga.
Faktor Risiko yang Mendorong Putus Sekolah
- Tekanan ekonomi keluarga. Saat krisis menekan ekonomi keluarga, pendidikan sering diprioritaskan bagi anak laki-laki. Anak perempuan dianggap kurang penting karena peran domestik, dan menurut World Bank, setiap kenaikan 1% kemiskinan dapat menaikkan angka putus sekolah mereka hingga 0,7%.
- Beban domestik dan peran gender tradisional. Dalam krisis, anak perempuan kerap menggantikan peran ibu. Survei UNICEF Asia-Pasifik menunjukkan 63% mengalami peningkatan pekerjaan rumah dan 52% lebih banyak merawat keluarga, sehingga waktu belajar mereka berkurang signifikan.
- Perubahan iklim dan bencana alam. Perubahan iklim berdampak tidak setara pada pendidikan. Saat sekolah rusak akibat bencana, keluarga sering memprioritaskan anak laki-laki, sementara anak perempuan lebih berisiko putus sekolah karena kesulitan biaya dan kebutuhan dasar.
- Pernikahan anak. Anak perempuan lebih rentan menikah dini, dan pernikahan hampir selalu menghentikan pendidikan karena tekanan sosial, beban domestik, serta kehamilan yang menyulitkan mereka kembali ke sekolah. Berikut data pernikahan anak perempuan dibandingkan dengan pernikahan anak laki-laki:
- Secara global, sebanyak 4% perempuan usia 20–24 tahun menikah saat berusia 15 tahun, sedangkan tidak ada kasus serupa pada laki-laki. Selain itu, 19% perempuan di kelompok usia yang sama menikah sebelum 18 tahun, dibanding hanya 3% laki-laki.
- Sementara itu di Indonesia, sebanyak 11% perempuan usia 20–24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun, sedangkan pada kelompok usia yang sama, hanya 1% laki-laki yang menikah di bawah usia 18 tahun.
Peran Orang Tua dalam Menjaga Pendidikan Anak Perempuan
Orang tua berperan penting menjaga anak perempuan tetap bersekolah saat krisis. Saat pendidikan terganggu, keluarga menjadi benteng utama agar sekolah tidak terputus:
Berikut yang perlu dipahami dan dilakukan oleh orang tua:
- Memahami dan menegaskan bahwa pendidikan adalah prioritas. Orang tua perlu menempatkan pendidikan anak perempuan setara dengan anak laki-laki. BPS mencatat masih ada 0,66% anak perempuan usia SD, 5,86% usia SMP, dan 19,34% usia SMA/SMK yang tidak bersekolah, terutama karena faktor ekonomi dan pandangan tradisional. Padahal, menurut World Bank setiap tambahan satu tahun sekolah dapat meningkatkan pendapatan perempuan 10–20% di masa depan.
- Menyusun rutinitas belajar yang fleksibel. Selama krisis seperti pandemi atau bencana, sekolah mungkin tutup sementara. Orang tua dapat membuat jadwal belajar harian sederhana di rumah. Berikut panduan pembelajaran jarak jauh.
- Mengurangi beban rumah tangga anak perempuan. Hilangkan mindset peran gender tradisional dalam mendidik anak. Jangan biarkan krisis menambah beban rumah tangga anak perempuan. Orang tua dapat menyeimbangkan pembagian tugas rumah agar anak tetap punya waktu belajar dan beristirahat.
- Melindungi anak dari risiko sosial: pernikahan dini dan kekerasan. Pernikahan anak adalah bentuk kekerasan yang komplet terhadap anak. Meskipun banyak anggapan bahwa pernikahan anak adalah sebuah bentuk perlindungan, padahal justru merampas hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pilihan masa depan. Tanpa persiapan mental dan persetujuan, praktik ini menjadi bentuk kekerasan lengkap yang kerap menimbulkan dampak psikologis serius. Di sinilah peran penting orang tua: menolak tekanan sosial untuk menikahkan anak di usia dini, apa pun alasannya; meningkatkan kesadaran bahwa pendidikan dan perlindungan adalah hak dasar anak; serta menciptakan komunikasi terbuka agar anak mau bercerita tentang pengalaman negatif, termasuk kekerasan dan pelecehan.
- Membangun kolaborasi dengan sekolah dan komunitas. Peran orang tua akan lebih efektif jika didukung komunitas. Bergabung dengan kelompok orang tua, forum desa, atau program sekolah seperti komite sekolah dapat membantu menemukan solusi bersama. UNESCO merekomendasikan pendekatan community-based learning di masa krisis agar anak tetap bisa belajar di luar ruang kelas formal.
- Menanamkan nilai kepemimpinan. Tema “The girl I am, the change I lead” mendorong anak perempuan menjadi agen perubahan bahkan dalam krisis. Dengan dukungan keluarga, anak perempuan belajar memimpin dari lingkup terdekat, yaitu rumah, sekolah, dan komunitas. Orang tua bisa menumbuhkan kepercayaan diri anak melalui: memberi ruang berpendapat di rumah, mendorong partisipasi anak dalam kegiatan sosial di lingkungan terdekat (RT, RW, desa, dll), mengapresiasi inisiatif kecil yang mereka ambil.
Krisis apa pun bisa mengguncang sekolah, tetapi keputusan di rumah sering menjadi penentu apakah seorang anak perempuan tetap belajar atau terhenti. Orang tua yang sadar, suportif, dan kolaboratif dapat menjadi benteng yang menjaga anak perempuan dari kehilangan masa depan. Investasi pendidikan anak perempuan bukan hanya soal sekolah, tapi tentang membangun ketahanan bangsa.
Penulis: Dania Ciptadi
Editor: Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait: