“Aku adalah Sahabatmu.” Kata Bumi

Hampir semua perilaku yang kita perbuat, memiliki dampak pada bumi. Namun, mungkin karena itu terlalu rutin kita lakukan, hingga kita tidak lagi menyadari, ada yang terdampak dari kebiasaan yang rutin kita lakukan tersebut. Pernahkah terfikir apa perilaku yang rutin kita lakukan setiap hari, yang ternyata dapat merusak bumi?

Kemana biasanya kita selaku orangtua mengajak anak-anak kita mengisi waktu luangnya? Menikmati keindahan alam menjadi salah satu hal yang biasanya orangtua pilih untuk mengajak anaknya bertamasya menikmati waktu luang atau hari libur. Apalagi di masa pandemi seperti saat ini, kita merasa lebih aman mengajak anak kita ke pantai, gunung, sawah, kebun, intinya area terbuka dengan populasi yang tidak terlalu padat, dari pada mengajak anak ke mal atau playground tertutup.

Foto-foto keseruan liburan keluarga yang diisi dengan berkemah, berenang dan bermain pasir di pantai, banyak menghiasi laman media sosial kita saat ini. Tempat-tempat dengan pemandangan indah di Nusantara yang mungkin tidak pernah kita dengar namanya, tidak pernah kita kenali apalagi kunjungi, makin banyak terekspose. Misalnya: pantai Watu Karung di Jawa Timur, Danau Kakaban di Kalimantan Timur, pemandian Air Soda di Sumatera Utara dan masih banyak lagi, semakin ramai bermunculan dan kita cari sebagai alternatif tempat liburan keluarga.

Kita semakin senang mengunjungi dan menikmati alam di bumi tempat kita tinggal, kita makin merasakan banyak manfaat dari bumi yang kita tinggali. Bumi memperlakukan kita sebagai sahabat, ia menawarkan banyak hal baik dan indah kepada kita. Kala kita berduka, sedih, penat dengan keseharian, bumi memeluk kita dan menghibur kita dengan kedamaian dan keindahannya. Bumi memberi banyak hal yang kita butuhkan, seperti air untuk kita minum, udara untuk kita hirup, pantai dan gunung untuk kita istirahat dan menghilangkan penat.

Masalahnya, ketika bumi memperlakukan kita sebagai sahabat, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga memperlakukan bumi sang sahabat kita itu dengan baik? Atau malahan kita tidak pernah memikirkan betapa kita berhutang budi kepada bumi? Jika ini sampai tidak pernah terpikir oleh kita, mungkin salah satu penyebabnya adalah karena orangtua kita juga tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk memelihara dan menjaga bumi. Jika kita ingin terus menikmati segala hal baik dari bumi, maka kita harus mulai menjaganya, dan sebagai orangtua, kita harus mulai menanamkan rasa cinta dan kepedulian kita kepada bumi pada anak-anak kita.

Bunda Britania Sari, seorang aktivis zero waste mengajak anaknya yang baru berusia 7 tahun mulai memikirkan nasib bumi dengan cara yg sederhana. Pada suatu malam beliau mengajak keluarganya menyaksikan video tentang lautan yang penuh sampah dan kura-kura yang kesakitan karena hidungnya tertusuk sedotan plastik. Seusai menonton video tentang lingkungan itu, ada pertanyaan dari sang anak : “kalau sekarang saja lingkungan sudah rusak seperti ini, bagaimana nanti kalau saya sudah besar, sampah semakin banyak dan bumi semakin rusak donk?” 

Jadi apa sih sebetulnya yang menjadi masalah terbesar yang paling merusak bumi? Tak lain dan tak bukan adalah SAMPAH! Pernahkah terpikirkan, berapa banyak sampah yang setiap hari kita hasilkan? Contoh sederhana, pernahkah menghitung banyak sampah sedotan, kantong plastik, tissue, kertas yang kita hasilkan dalam sehari?

Dari diskusi malam itu dengan keluarga, mereka memutuskan untuk mulai berbuat sesuatu tanpa menunggu orang lain memulai terlebih dahulu. Untuk mempelajari tentang sampah, bunda Britania Sari mengajak anaknya berkunjung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang. Dari kunjungan ke TPA ini kemudian muncul kesadaran bahwa sampah yang dihasilkan baik perorangan maupun rumah tangga itu hanya berpindah tempat, dari rumah ke tempat pembuangan akhir. Ini dapat menyebabkan masalah seperti polusi dan gas metan yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Dari kunjungan ini, sang anak melihat fakta, bahwa sampah rumah tangga adalah penyumbang terbesar dari volume sampah yang dihasilkan. Dengan melakukan penanganan sampah mulai dari rumah tangga, maka akan memberikan kontribusi besar dalam upaya pengurangan sampah.

Kunjungan ke tempat pembuangan akhir sampah ini adalah hal yang sangat baik, ketika kita ingin menjelaskan dan mengajak anak kita melakukan perubahan, mulailah dengan melihat realita. Anak-anak terutama yang usianya masih sangat muda, akan sulit membayangkan hal-hal yang tidak riil dapat ia lihat. 

Ketika Bunda Britania Sari ingin mengajak anaknya memecahkan masalah banyaknya sampah yang dapat merusak bumi, maka beliau mengajak anaknya melihat realita, bahwa betul ada begitu banyak sampah di bumi yang berasal dari penggunaan pribadi kita, dikumpulkan di tempat sampah di rumah, lalu dipindahkan ke tempat pembuangan akhir. Jadi sampah itu tetap ada, bukan hilang musnah, sampah hanya berpindah tempat.

Setelah mengajak anak melihat realita, orang tua dapat mengajak anak berdiskusi dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana, misalnya:

  • Senang tidak jika harus tinggal di tempat yang banyak sampah?
  • Mengapa tidak senang?
  • Apa saja sih hal tidak baik yang bisa terjadi jika ada banyak sampah?

Tahap selanjutnya adalah mengajak anak mencari tahu, dari mana sampah ini berasal?

Jika anak sudah paham akan dampak buruk dan dari mana sampah berasal, ajak anak berdiskusi kira-kira apa yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi masalah ini? Bagaimana mereka sebagai anak-anak dapat membantu mengurangi sampah? 

Menunjukkan realita, akan lebih menggerakkan hati seorang anak, karena ia merekamnya di dalam pikiran mereka. Daripada hanya sekedar beragam bentuk kata larangan seperti “JANGAN, TIDAK BOLEH”. Menyentuh hati dan kepedulian sang anak dengan menunjukkan realita, akan lebih menolong anak memahami, mengapa ia perlu turut menjaga bumi sahabatnya.

Kita tahu bahwa dalam rutinitas sehari-hari, kita menyumbang banyak sampah plastik, tapi tetap saja kita memakai banyak kantong plastik, sedotan plastik, meminum air kemasan dibandingkan membawa botol minum, mengapa? Karena banyak dari kita tidak pernah melihat realita betapa banyaknya sampah plastik.

Bukan lagi JANGAN pakai sedotan dan kantong plastik banyak-banyak, JANGAN merobek-robek kertas, JANGAN buang sampah sembarangan, JANGAN, JANGAN dan JANGAN. Kata-kata larangan hanya akan diingat sejenak, namun menunjukkan realita masalah, akan membuat anak menjadi penggerak pemecah masalah. 

Melihat realita, akan mempermudah anak berpikir. Bawa masalah menjadi dekat dengan anak untuk mengajarnya menemukan pemecahan masalah dan melakukannya dalam hidupnya sehari-hari. 

Diskusi bersama Britania Sari dapat kita lihat disini.

Penulis: Dyahni Ardrawersthi

Artikel Terkatit :

Share :

Related articles