Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) masih terus menjadi trending topic. Tak bisa dipungkiri, kehadiran AI memang sangat memudahkan kehidupan kita. Namun, di sisi lain, hal ini cukup meresahkan. Akankah suatu saat nanti AI sepenuhnya menggantikan manusia? Bagaimana kita harus menyikapinya?
Siapa tak kenal kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI)? Bahkan mungkin, tanpa menyadari, kita telah menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari hal sederhana, seperti Voice Assistant Google, Alexa, atau Siri, membuat gambar-gambar generatif untuk diunggah di media sosial, hingga penyediaan kode pemrograman.
Apa itu AI? Dan bagaimana sebenarnya cara kerja AI?
Menyederhanakan penjelasan dari McKinsey & Company, AI adalah sebuah alat yang bisa berpikir dan belajar. Namun, tidak seperti manusia, AI tidak memiliki otak. AI menggunakan program khusus untuk “berpikir”, mengolah informasi, dan membuat kesimpulan atau keputusan berdasarkan informasi tersebut.
AI itu seperti memiliki teman robot yang sangat pintar. Teman kita itu punya pengetahuan yang sangat luas, dan dapat membantu kita mengerjakan banyak hal. Dari hal sederhana, seperti membuat gambar, bermain gim, hingga hal yang rumit seperti mengendarakan mobil.
AI bisa saja sangat pintar, tetapi AI tetap membutuhkan bantuan manusia. AI tidak akan ada tanpa manusia yang membuat dan “mengajarinya”. Colorado State University Global menjelaskan bahwa AI bekerja dengan menggabungkan sekumpulan besar data yang “diajarkan” kepadanya. AI memprosesnya secara berulang dan “belajar” dari pola dan karakteristik khusus data tersebut. AI adalah sebuah mesin, sehingga ia tidak membutuhkan istirahat seperti manusia. Oleh karenanya, AI dapat menjalankan jutaan bahkan milyaran pekerjaan dengan sangat cepat, belajar dalam waktu yang sangat singkat, dan menjadi mampu melakukan hal apa pun sesuai dengan yang diajarkan dan dilatihkan kepadanya.
Contohnya, sekelompok manusia menciptakan AI, kemudian mengajarkan kepadanya tentang bunga melati. Mereka menunjukkan kepada AI banyak gambar melati, menginput segala informasi tentang bunga tersebut dengan sangat rinci, kemudian AI akan mempelajari dan mengingat semua itu dalam “otaknya”. Sehingga, jika suatu saat kita bertanya pada AI, “Apakah yang disebut dengan bunga melati?”, AI akan menjawabnya sesuai apa yang telah “diajarkan” kepadanya.
Demikianlah cara AI bekerja dan belajar. Jadi, semakin banyak data dan informasi yang diberikan dan dilatihkan kepadanya, AI juga akan menjadi semakin pintar.
Anda pernah membuat desain untuk diunggah di media sosial menggunakan Canva? Atau mengedit foto/gambar dengan Picsart? Membuat/mengedit video menggunakan Capcut? Menerjemahkan bahasa dengan Google Translate? Bertanya tentang suatu hal kepada ChatGPT atau Google Bard?
Itulah contoh penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari. Sesederhana itu!
Sekali lagi, kita harus ingat bahwa AI adalah alat ciptaan manusia. Tidak seperti kita, AI tidak hidup. AI tidak memiliki emosi/perasaan, cita-cita, ataupun impian layaknya manusia. AI hanyalah kumpulan kecerdasan para pembuatnya. Tak lebih dari itu! Apa pun yang dihasilkan AI bukanlah jawaban mutlak, karena itu hanyalah hasil pemikiran kolektif beberapa manusia yang menciptakannya. Pemikiran AI tidak bersifat kritis, karena ia hanya mengikuti instruksi yang diberikan kepadanya.
Misalnya, kita bertanya kepada Google Bard tentang bunga melati. Bard akan menjelaskan secara rinci tentang bentuk, varietas, cara budidaya, manfaat, simbolismenya dalam tradisi-tradisi tertentu, dan sebagainya. Bahkan Bard sanggup menjelaskan ciri khas aroma melati dengan mengatakan bahwa aromanya kuat, manis, dan eksotis, tetapi Bard tidak akan mampu menjelaskan dengan sebenar-benarnya seperti apa wangi melati dan apa yang sebenarnya kita rasakan saat mencium aroma melati. Karena setiap orang memiliki persepsinya masing-masing akan aroma kuat, manis, dan eksotis. Dan Bard juga tidak akan mampu kembali bertanya kepada penciptanya, “Seperti apa sih aroma kuat, manis, dan eksotis itu?”.
AI memang pintar, dan mungkin banyak di antara kita yang merasa resah dengan keberadaannya. Begitu banyak studi dan penelitian tentang “ancaman” AI, yang dikatakan akan mampu menggantikan SDM di kemudian hari. Salah satunya adalah laporan di bulan Maret 2023 yang dikeluarkan oleh Goldman Sachs, yang memperkirakan sekitar 300 juta pekerjaan dapat dipengaruhi oleh AI, artinya 18% pekerjaan secara global dapat diotomatisasi. Sebuah penelitian dari University of Pennsylvania dan OpenAI juga melaporkan bahwa justru para pekerja kerah putih yang berpendidikan yang paling mungkin terpengaruh oleh otomatisasi AI ini.
Terdengar mengerikan, bukan? Namun, kita harus percaya bahwa, bagaimana pun, AI tidak mungkin mampu menggantikan manusia. Bagaimana mungkin sebuah ciptaan bisa menggantikan penciptanya?
AI memiliki banyak keterbatasan. Meskipun konten yang dihasilkan AI secara umum disajikan dengan baik dan tampak meyakinkan, tetapi AI dapat, dan seringkali, melakukan kesalahan. Berikut adalah keterbatasan-keterbatasan AI, sesuai dengan yang dilansir oleh Newcastle University:
- Ketidakmampuan mereferensi sumber
Kita harus selalu mempertanyakan konten yang dihasilkan, menerapkan penilaian terhadap keandalannya, dan memeriksa kembali fakta informasi yang diberikan oleh AI. Banyak alat AI yang tidak dapat mereferensikan sumbernya, dan sering juga ditemukan kutipan yang dibuat-buat.
- Tidak selalu up-to-date
AI hanya bisa menghasilkan konten berdasarkan data dan informasi yang tersedia dan dilatihkan kepadanya. Bisa jadi data dan informasi tersebut bukanlah yang terkini, mungkin saja AI menggunakan sumber-sumber yang sudah kedaluwarsa. Jadi jika kita bertanya tentang penelitian mutakhir dan terkini, belum tentu AI mampu memberikan jawaban.
- Tidak mampu menyediakan informasi yang bersifat ceruk
AI hanya bisa bekerja dengan baik jika ia memiliki banyak data dan informasi yang diajarkan kepadanya. Mungkin AI mampu menghasilkan konten komprehensif tentang hal-hal yang memang sudah terlebih dahulu banyak ditulis/dibuat oleh manusia, tetapi jika kita meminta bantuan AI tentang bidang yang lebih terspesialisasi dan/atau ceruk, maka AI belum tentu mampu memberikan respons yang baik.
- Tidak kreatif
Meskipun mampu menganalisis data dan informasi yang diberikan kepadanya, serta membuat keputusan/kesimpulan berdasarkan data dan informasi tersebut, AI tidak mampu menciptakan sesuatu yang baru tanpa terlebih dahulu diprogram oleh penciptanya.
- Tidak mampu berpikir kritis
Tidak seperti manusia, AI tidak dapat menerapkan pemikiran kritis atau pengembangan argumen yang baik. AI mungkin bisa menggabungkan berbagai data dan informasi tentang sebuah argumen, tetapi tidak bisa menilai argumen mana yang lebih kuat dan dapat dipercaya.
- Tidak mampu memahami konteks
AI hanya dapat membuat keputusan/kesimpulan berdasarkan data dan informasi yang telah dilatihkan kepadanya. Hal ini dapat menyebabkan kesalahan dan ketidakakuratan saat dihadapkan pada situasi baru atau yang tidak terduga. Ketidakmampuan memahami konteks juga dapat membuatnya memberikan informasi yang bias, hal ini bisa menjadi masalah saat kita harus membuat keputusan yang bersifat etis.
- Tidak mampu menerapkan pengetahuan yang dihasilkan di dunia nyata
Seperti yang telah dicontohkan tentang bunga melati di atas, AI tidak akan mampu menjelaskan dengan sebenar-benarnya seperti apakah aroma bunga melati. AI hanya akan memberikan keterangan yang dangkal, seperti aroma yang kuat, manis, dan eksotis.
Teknologi AI memang penting untuk membantu kita dalam kegiatan sehari-hari. Namun, kemampuan untuk berpikir kritis adalah keterampilan yang sangat manusiawi, dan merupakan hal yang harus terus dikembangkan. Kemampuan memahami konteks juga merupakan keterampilan yang hanya dimiliki oleh manusia, sehingga kita dapat menerapkan pengetahuan ke berbagai konteks yang berbeda. Meskipun demikian, kita tetap harus berhati-hati dalam menghadapi gempuran AI.
Keberadaan AI bisa menjadi peluang sekaligus ancaman. Peluang besar akan muncul bagi SDM yang cerdik menghadapi AI. Sebaliknya, AI akan menjadi ancaman bagi SDM yang hanya berfungsi sesuai dengan petunjuk atau perintah yang sudah ada sebelumnya. Mengutip artikel dari Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam Universitas Airlangga, berikut adalah beberapa kompetensi penting untuk cerdik menghadapi AI:
- Manajemen risiko
Kompetensi manajemen risiko penting untuk dimiliki dalam era Revolusi Industri 4.0, karena pada era inilah kita dituntut bekerja atau menciptakan pekerjaan dengan tingkat produktivitas, profitabilitas, dan kualitas yang tinggi. Dengan kemampuan manajemen risiko, kita akan mampu mengidentifikasi risiko dari pemanfaatan AI, memberikan penilaian kuantitatif dan kualitatif terhadap risiko dari AI, prioritas risiko terhadap AI, perencanaan respons dari risiko AI, dan pemantauan risiko yang mungkin terjadi akibat keberadaan AI.
- Keterampilan analitis
Kompetensi analitis akan membantu kita dalam membuat keputusan tentang suatu pekerjaan yang melibatkan AI, sehingga dapat mengembangkannya secara konsisten dan terorganisir dan argumen serta keputusan yang dihasilkan lebih kuat dan kredibel.
- Keterampilan dokumentasi
Kompetensi ini melibatkan kemampuan kita untuk menetapkan dan merancang konsep penerapan atau pemanfaatan AI. Termasuk di dalamnya adalah penetapan jenis AI yang digunakan, efektivitas dan efisiensi AI, penetapan prosedur kontrol terhadap teknologi AI yang digunakan, dan pemantauan kepatuhan prosedur terhadap penerapan dan/atau pemanfaatan AI.
- Tindakan perbaikan
Kompetensi ini melibatkan kemampuan kita untuk melakukan tindakan korektif terhadap teknologi AI yang digunakan. Hal ini meliputi evaluasi terhadap kelemahan AI, respons terhadap kelemahan tersebut, serta memberikan rekomendasi dan solusi dari hasil evaluasi.
- Pembelajaran aktif
Kompetensi yang sangat penting untuk dimiliki dalam era ini adalah kemampuan berkomitmen untuk belajar secara aktif dalam mengembangkan kompetensi yang telah dimiliki. Kondisi dunia terus berubah dan persaingan pasar yang fluktuatif menuntut kita untuk terus berkembang agar mampu menghadapi persaingan, baik dengan sesama manusia maupun dengan AI.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Sri Mulyani Indrawati, ada beberapa hal yang tak mungkin bisa digantikan oleh AI, yaitu empati, kreativitas, pemikiran kritis, dan kemampuan analitis serta memahami konteks terhadap persoalan yang kompleks. Oleh karenanya, kita harus tetap mengasah kemampuan itu untuk dapat menjadi SDM yang unggul di Revolusi Industri 4.0 yang sarat dengan teknologi ini.
AI telah merevolusi berbagai industri dan memiliki potensi untuk mengubah lebih banyak hal di masa depan. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk memahami kecanggihan dan keterbatasannya untuk memastikan bahwa kita memanfaatkan AI secara bertanggung jawab. AI terus berkembang, maka dari itu, penting juga bagi kita untuk terus mengembangkan strategi dalam menghadapinya, agar kita bisa memaksimalkan manfaat AI untuk kehidupan yang lebih nyaman, tanpa khawatir akan tergantikan oleh AI.
REFO masih akan terus mengangkat tema kecerdasan buatan, baik dalam bentuk artikel dalam blog, unggahan dalam media sosial, maupun webinar. Pastikan terus ikuti perkembangannya di Blog REFO, Instagram, dan YouTube.
Penulis: Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait:
- Tren ChatGPT? Ini Cara Menyikapinya
- Tren Teknologi Pendidikan Selepas Pandemi
- Pentingnya Digitalisasi Pendidikan Menuju Generasi Indonesia Emas 2045
- Lebih Baik Mana: Belajar dengan atau Tanpa Teknologi?