Dunia maya yang begitu luas dapat menjadi tempat yang sangat kejam bagi anak-anak kita, hingga mereka tidak punya lagi ruang untuk bersembunyi. Bagaimana kita harus menyikapinya?
Bullying atau perundungan adalah isu kronis dan krusial, hal yang biasanya banyak terjadi di sekolah. Tampaknya, isu ini telah mengakar kuat dan sudah menjadi “rahasia umum” di sekolah-sekolah.
Seiring berkembangnya teknologi, perundungan pun mengalami evolusi. Yang awalnya terjadi hanya di lingkungan sekolah dan sepanjang jam sekolah, sekarang bisa terjadi di dunia maya; tanpa batas ruang dan waktu, dan dalam segala bentuk platform, seperti online game, media sosial, aplikasi pesan instan, dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai perundungan siber (cyberbullying).
Cyberbullying bisa hadir dalam berbagai wujud. Bukan hanya ujaran kemarahan atau kebencian, yang membuat sasaran perundungan merasa tidak nyaman, hingga akhirnya terganggu secara psikologis. Namun, bisa juga berwujud foto atau gambar yang telah dimodifikasi, hingga potongan video. Gempuran cyberbullying begitu masif dan hampir tak dapat dibendung. Anak yang menjadi sasaran juga nyaris tak memiliki ruang untuk bersembunyi dari serangan ini.
Eric Alcera, M.D., Direktur Medis dari Hackensack Meridian Behavioral Health, menyatakan bahwa para pelaku cyberbullying memiliki keberanian lebih untuk menuliskan kalimat-kalimat jahat yang mungkin tidak akan berani diucapkan secara verbal. Selain itu, penyebaran video dan foto terjadi begitu cepat sehingga dapat menjangkau lebih banyak orang. Jika perundungan tradisional “hanya” melibatkan beberapa orang pelaku dan bystander yang kebetulan ada di lokasi, cyberbullying mencakup lebih banyak orang. Jejak digital yang sudah telanjur tersebar itu sulit untuk dihentikan, sehingga membuat korban nyaris tidak memiliki celah untuk membela dirinya.
Tak seperti perundungan yang terjadi di sekolah, di mana orang dewasa bisa dengan cepat melakukan intervensi, tidak semua kasus cyberbullying bisa diintervensi dan diselesaikan dalam sekejap. Pelaku cyberbullying dapat dengan mudah melancarkan aksinya secara anonim sehingga dibutuhkan waktu untuk mencari identitas pelaku.
Dampaiknya tidak main-main
Sebuah studi menyatakan bahwa cyberbullying dapat menyebabkan kecemasan hingga depresi berat, yang mendorong korban untuk melakukan tindakan menyakiti diri sendiri, sampai percobaan bunuh diri. Selain itu, Ybarra dan Mitchell memaparkan, sebanyak 39% korban cyberbullying mengalami putus sekolah, 37% menunjukkan perilaku nakal, 32% sering terlibat dalam penyalahgunaan obat, dan 16% mengalami depresi berat.
Memberantas cyberbullying
Cyberbullying bisa terjadi kepada siapa pun. Jadi, kadang kala kondisi ini tidak bisa dihindari, dan sewaktu-waktu dapat saja dialami oleh anak-anak kita. Oleh karenanya, kita perlu melakukan pendampingan dan edukasi terhadap anak, agar mereka dapat berinteraksi di dunia maya secara “sehat”.
Ajari anak tentang pentingnya privasi di media sosial. Edukasi anak untuk melakukan pengaturan privasi pada foto dan video pribadinya. Selain itu, ingatkan mereka untuk tidak memberikan data pribadi melalui platform internet apa pun.
Ajari anak tentang kematangan berpikir dan meregulasi emosi. Semakin banyak konten yang diunggah di internet, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadi cyberbullying karena internet adalah ruang publik. Semua orang dapat berkomentar, dan ini tidak bisa disaring.
Sementara itu, sekolah pun perlu wawas diri dan membekali para konselornya untuk dapat menangkap fenomena ini. Beri anak dukungan psikologis dengan menyediakan ahli-ahli yang dapat membantu mereka meredakan kecemasan akibat cyberbullying. Pihak sekolah diharapkan bekerja sama dengan orang tua dengan memberikan edukasi mengenai gejala yang muncul akibat cyberbullying, dan melaporkan hal ini ke pihak sekolah sesegera mungkin.
Anak-anak yang mengalami cyberbullying biasanya kurang memiliki koneksi dengan orang tua. Mereka yang kesulitan bercerita kepada orang tua perlu mendapatkan terapi konseling untuk memulihkan trauma psikologis yang mereka alami. Pelatihan empati, komunikasi, dan keterampilan sosial akan membantu mereka melewati trauma. Intervensi seperti konseling dalam kelompok, role playing, diskusi, dan edukasi akan memberikan efek luar biasa dalam mencegah cyberbullying.
Selain pertolongan orang tua dan sekolah, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga menyediakan Telepon Pelayanan Sosial Anak (TePSA) bagi anak atau remaja yang menjadi korban cyberbullying untuk mendapatkan penanganan segera dari konselor profesional.
Sebagai pendidik dan orang tua, fenomena cyberbullying harus kita tanggapi dengan serius. Kita memang tidak bisa membuntuti ke mana pun anak pergi dan dengan siapa mereka bergaul. Namun, kita tetap bisa terus memantau kondisi merekamelalui percakapan-percakapan mendalam dan tanggap ketika melihat adanya perubahan perilaku pada anak.
Penulis: Diah Lucky Natalia
Artikel terkait:
- Cerdas Berinternet: Periksa Fakta, Baru Bicara
- Kunci Sukses Aman di Dunia Maya
- Tren ChatGPT? Ini Cara Menyikapinya
- Bentuk Anak Menjadi Warga Digital yang Tangguh
- Ayo, Bijak Bermedia Sosial!