“Our rights, our future, right now” adalah tema Hari Hak Asasi Manusia tahun 2024 ini, merupakan imbauan bagi kita agar memahami bahwa hak kita saat ini akan masa depan kita. Hal ini juga berlaku bagi anak-anak penerus bangsa.
Sejak 1989, para pemimpin dunia telah berkomitmen untuk memberikan penghidupan yang lebih baik kepada anak-anak di seluruh dunia dengan menyelenggarakan Konvensi Hak Anak di bawah bendera PBB. Konvensi ini mempertegas bahwa anak bukanlah objek. Anak merupakan individu yang memiliki hak. Selama masa kanak-kanak, manusia berhak mendapatkan kesempatan untuk tumbuh, belajar, bermain, berkembang, dan berhasil dengan bermartabat. Konvensi ini menjadi perjanjian HAM dengan tingkat ratifikasi tertinggi dalam sejarah karena membantu mengubah kehidupan banyak anak di seluruh dunia.
Namun begitu, ternyata pelanggaran terhadap anak tidak selesai pasca ditetapkannya dalam konvensi itu. Jutaan anak di Timur Tengah terancam tidak bersekolah akibat konflik berkepanjangan di wilayah tersebut. UNICEF menyatakan, diperkirakan 15 juta anak usia sekolah—dengan rentang usia lima hingga 14 tahun—tidak bersekolah dan 10 juta lainnya berisiko putus sekolah. Data 2019, sebanyak 1 dari 4 anak belum terdaftar kelahirannya. Sementara itu, di Indonesia, hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 yang diluncurkan oleh KemenPPPA menyatakan bahwa masih terdapat 7,6 juta anak Indonesia yang mengalami kekerasan.
Begitu peliknya permasalahan anak di dunia ini yang menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak anak belum terealisasi dengan baik dikarenakan kondisi alam, konflik, kemiskinan, dan kurangnya sosialisasi mengenai hak-hak anak ini.
Empat pilar hak anak
Ada empat pilar utama hak anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak, yaitu hak hidup, hak perlindungan, hak tumbuh kembang, dan hak partisipasi. Hak-hak ini didasarkan pada prinsip non-diskriminasi dan setiap tindakan harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.
- Hak hidup. Sejak anak dilahirkan, mereka mempunyai hak untuk hidup. Mereka berhak atas identitas, kewarganegaraan terdaftar, dan akta kelahiran. Mereka mempunyai hak untuk dirawat dan dilindungi oleh orang tuanya serta tidak dipisahkan dari keluarganya. Pemerintah perlu melindungi hak-hak ini dan menyediakan layanan dasar bagi anak-anak untuk bertahan hidup dan berkembang. Hal ini mencakup layanan kesehatan berkualitas, pemenuhan gizi sesuai usia, air minum bersih, dan tempat tinggal yang aman.
- Hak untuk dilindungi. Saat lahir ke dunia, seorang anak belum mampu bertahan hidup sendiri setidaknya hingga usia 18 tahun. Oleh karena itu, anak membutuhkan perlindungan dari orang dewasa dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk kekerasan tidak terbatas pada kekerasan fisik, melainkan juga intimidasi psikologis yang rentan membuat anak mengalami gangguan kesehatan mental. Keluarga sebagai agen sosial pertama dan utama anak wajib memberikan perlindungan terhadap anak dari segala bentuk hal yang mengancam keamanan anak.
- Hak tumbuh kembang. Jika bicara tentang anak, pasti berkaitan erat dengan tugas perkembangan yang akan dilalui anak sejak usia bayi hingga dewasa. Perkembangan menjadi milestone terpenting anak sehingga kita perlu memastikan anak melewati tiap tahapan perkembangannya dengan baik. Hak berkembang juga dimiliki anak-anak dengan disabilitas agar mereka mampu menunjukkan potensinya dan berpartisipasi secara bermakna di masyarakat di kemudian hari.
- Hak partisipasi. Seperti layaknya orang dewasa, anak juga merupakan bagian dari masyarakat. Mereka memiliki hak untuk diketahui dan diakui perannya di tengah-tengah komunitas. Anak berhak untuk mengekspresikan perasaan, pemikiran, dan pandangan mereka. Aspirasi mereka pun perlu didengarkan dan didukung.
Hak anak-anak Indonesia
Abraham Maslow, seorang psikolog asal Amerika Serikat, merumuskan Teori Hierarki Kebutuhan. Dalam artikel riset “Analisis Teori Hierarki Kebutuhan A. Maslow dalam Pemanfaatan Media Teknologi Bagi Pendidikan Anak Usia Dini” dipaparkan bahwa Maslow melihat tiap manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan yang berjenjang, yaitu fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Menurut teori ini, manusia akan cenderung untuk mencari pemenuhan untuk kebutuhan yang paling dasar terlebih dahulu sebelum berpikir untuk memenuhi kebutuhan di level lainnya.
Berdasarkan data BPS Maret 2024, persentase penduduk miskin Indonesia sebesar 9,03% atau sebesar 25,22 juta orang. Di antaranya jumlah tersebut sebanyak 11,4% adalah anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Kondisi ini menghambat pemenuhan hak anak. Keluarga masih berjuang memenuhi kebutuhan primer, sehingga hak anak terabaikan.
Kita dapat melihat dengan lebih jelas bahwa Indonesia masih berjuang memenuhi kebutuhan anak di jenjang paling bawah, yaitu kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Hal ini menyebabkan banyak tantangan dalam mewujudkan empat pilar hak anak secara holistik jika isu fisiologis belum terselesaikan.
Apa yang bisa dilakukan?
Pada tahun 2023, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, saat masih menjabat sebagai Menteri PPPA menyatakan bahwa keberhasilan dalam memastikan kesejahteraan anak dapat terwujud jika semua pemangku kepentingan berkontribusi sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Pemerintah terus mengupayakan pemberian bantuan nyata bagi masyarakat golongan miskin dengan memberikan bantuan langsung dan merealisasikan program pengentasan stunting pada anak. Terkesan sepele dan rentan disalahgunakan, tetapi program ini menjadi begitu krusial bagi masyarakat golongan miskin untuk dapat bertahan hidup di tengah kesulitan ekonomi yang mendera mereka. Harapannya, jika kebutuhan dasar terpenuhi, pemerintah dan pihak lain dapat “menggarap” isu lainnya untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anak di Indonesia.
Isu besar ini tentu tidak akan dapat diselesaikan oleh pemerintah sendirian. Tiap pihak yang tergerak untuk mendorong percepatan pemenuhan hak anak dapat berpartisipasi sesuai perannya. Di sinilah peran LBH, KPAI, dan lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan untuk dapat menyosialisasikan mengenai hak-hak anak yang belum terpenuhi. Program dan penyuluhan menjadi langkah tepat yang perlu dilakukan berulang kali untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Sebagai pendidik, tugas kita bukan hanya mengajar, tetapi juga bermitra dengan orang tua agar lebih melek tentang pola asuh dan menerapkan mindfulness saat melakukan parenting. Dari sini, kita menjadi rekan seperjalanan pemerintah, yang sedang melakukan serangkaian langkah mengatasi kemiskinan, sementara kita melakukan edukasi dari sisi kognitif.
Sekolah, negeri maupun swasta, perlu memikirkan program edukasi yang holistik, yang juga menyentuh para orang tua dan mendampingi mereka dalam mengasuh anak-anak mereka. Walau kasus kekerasan terhadap anak dapat terjadi kapan saja dengan berbagai latar belakang masalah, dengan adanya pendampingan, kita berharap terjadi pola penurunan secara bertahap setiap tahunnya.
Mengingat begitu kompleksnya manusia dengan segala problem kehidupannya, intervensi seperti ini tidak bisa berhenti dilakukan. Kontinuitas menjadi kunci agar pesan yang ingin disampaikan diterima oleh masyarakat dengan baik dan meluas hingga seluruh pelosok negeri.
Dalam rangka memeringati Hari Hak Asasi Manusia yang jatuh pada tiap 10 Desember, mari kita merenung dan meninjau lagi sejauh apa upaya kita dalam memenuhi hak-hak asasi individu, khususnya anak, sebagai generasi penerus? Diharapkan, dalam prosesnya, kita semua dapat berjalan beriringan dengan pemerintah sehingga setiap anak mendapatkan hak-hak mereka yang tentunya akan berperan besar dalam perkembangan sosial, emosi, dan kognitifnya di masa depan.
Penulis: Lucky Diah Natalia
Artikel terkait: