Perlindungan terhadap anak selalu digaungkan. Namun, kekerasan, ketidakadilan, dan tidak terpenuhinya hak asasi anak pun terus menghantui kehidupan anak-anak lndonesia. Siapa sebenarnya yang paling mampu membentuk dan melindungi anak?
Peringatan Hari Anak Nasional diselenggarakan setiap tanggal 23 Juli, dan tahun 2022 ini, Kemenpppa RI mengusung tema “Anak Terlindung, Indonesia Maju”. Salah satu dari beberapa tujuan khusus peringatan ini adalah menurunkan angka kekerasan terhadap anak dan meningkatkan peran keluarga dalam pengasuhan positif.
Ada kesadaran bahwa anak merupakan kelompok rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan ketidakadilan, pun telah banyak upaya yang dilakukan untuk melindungi mereka. Namun kekerasan terhadap anak masih terjadi, bahkan di tempat yang kita pikir merupakan zona aman untuk mereka. Contohnya, pelecehan seksual terhadap murid di sebuah sekolah besar berprestasi dan sebuah pondok pesantren, yang beritanya cukup menggegerkan publik.
Apa yang sebenarnya menjadi kunci, agar anak-anak terhindar dari segala bentuk kekerasan?
Keluarga, di mana anak pertama kali belajar membangun relasi dengan orang lain, menjadi kunci dalam mendidik anak agar peka dan mampu menghadapi berbagai tindak kekerasan.
Kepekaan anak akan kasih yang tulus dimulai dari bagaimana ia menerima kasih tanpa syarat dari orang tuanya, yang dapat ditunjukkan melalui:
1. Sentuhan fisik
Sentuhan fisik, berupa belaian, pelukan, dan ciuman, yang tulus dari orang tua akan membuat anak peka, dan mampu membedakan antara sentuhan sebagai ungkapan kasih sayang, dan sentuhan yang sifatnya erotis, serta mengarah ke tindak pelecehan. Anak akan sulit membedakannya jika ia jarang, atau bahkan tidak pernah, menerima sentuhan kasih dari orang tua. Adapun sentuhan kasih dapat diberikan kepada anak dalam bentuk:
a. Belaian
Belaian memiliki banyak manfaat, di antaranya adalah menunjukkan kasih sayang, memberikan respon positif, dan menunjukkan kepedulian pada anak, bahkan belaian di kepala, akan membantu merangsang pertumbuhan otak. Terdapat bukti empiris bahwa belaian akan memicu pelepasan hormon oksitosin yang sering disebut sebagai parenting hormone, yaitu “hormon cinta” yang membangun keterikatan emosional antara orang tua dan anak.
b. Pelukan
Pelukan juga memiliki banyak manfaat bagi anak, seperti mencerdaskan kognitif, meningkatkan imunitas, mengatasi tantrum, meningkatkan resiliensi, dan seperti halnya belaian, pelukan membantu pelepasan hormon oksitosin, yang akan meningkatkan keterikatan orang tua dan anak, serta memberikan rasa bahagia. Berapa kali kita harus memeluk anak-anak kita? Virginia Satir, seorang terapis keluarga, memberikan rumus bahwa 4 pelukan sehari bermanfaat untuk bertahan hidup, 8 pelukan sehari untuk membantu perawatan, dan 12 pelukan sehari untuk pertumbuhan. Lalu, berapa lama durasi pelukan yang baik untuk kita lakukan? Psikolog Sebastian Ocklenburg, dalam artikelnya “10 Things That Make A Hug Great”, mengatakan bahwa pelukan berdurasi 5-10 detik memberikan efek emosi yang positif. Jadi, peluk anak-anak kita sebanyak 12 kali, dan masing-masing selama 10 detik, hal itu akan memberikan efek positif pada diri mereka.
c. Ciuman
Beberapa anak yang menjadi korban pelecehan seksual mengaku bahwa mereka berpikir, ciuman si predator adalah layaknya ciuman seorang ayah. Minimnya pendidikan seks pada anak memang menjadi salah satu akar permasalahannya. Namun, apakah hal itu menjadi satu-satunya penyebab? Kita harus ingat bahwa budaya ketimuran seringkali membuat kita, terutama para ayah, merasa risih untuk memberikan sentuhan fisik pada anak-anaknya. Cium anak-anak kita di kepala, kening, atau pipi. Hal ini akan membuat anak mengenali ciuman tulus dan penuh kasih.
2. Komunikasi
Kita sering merasa heran saat mendengar kisah anak yang mengalami perundungan hingga stres, bahkan depresi, karena itu artinya perundungan sudah terjadi cukup lama. Juga kisah seorang anak yang mengalami pelecehan seksual hingga bertahun-tahun, dan orang tuanya tidak mengetahuinya.
Keterlambatan orang tua menyadari permasalahan yang dihadapi anak biasanya berawal dari buruknya komunikasi di antara mereka, sehingga anak tidak terbiasa mengungkapkan hal-hal yang dialaminya. Cukup lontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana pada anak, seperti:
– “Apa yang kamu pelajari di sekolah hari ini?”
– “Apakah kamu senang bermain dengan teman-teman tadi sore?”
– Dsb.
Pertanyaan sederhana yang membuat mereka merasa bahwa kita sungguh peduli, bukan basa-basi. Kita pun harus benar-benar meluangkan waktu untuk mendengarkan dan memberikan tanggapan sesuai dengan kebutuhan mereka. Jadikan diskusi dua arah, bukan menghakimi, menyudutkan, atau memaksakan kehendak dalam komunikasi dengan anak.
Selain hal-hal di atas, perlindungan terhadap anak melalui pengawasan yang memadai tetap diperlukan. Sebagai orang tua kita harus melatih kepekaan, apakah tempat anak-anak beraktivitas benar-benar merupakan zona aman? Apakah orang-orang di sekitar anak-anak kita benar-benar orang baik dan tidak membahayakan tumbuh-kembang anak, baik secara mental maupun fisik?
Menjalin kerja sama yang baik dengan komunitas di lingkungan rumah dan sekolah untuk pengawasan anak-anak secara bersama dapat membantu meminimalkan kemungkinan terjadinya hal buruk pada anak-anak kita. It takes a village to raise a child, sebuah pepatah yang berarti membutuhkan seluruh lapisan masyarakat untuk menyediakan interaksi dan lingkungan yang positif bagi anak. Semakin banyak orang yang terlibat dan saling peduli dalam perlindungan anak, akan membuat pelaku kekerasan berpikir dua kali untuk melancarkan modusnya.
Hal terakhir yang tak kalah penting adalah ajak anak dan seluruh anggota keluarga berdoa bersama untuk mengawali dan menutup hari. Kita tidak bisa meniscayakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita, terutama dalam hal mendidik dan membesarkan anak.
Penulis: Dyahni Ardrawersthi
Artikel terkait:
- Hari Keluarga Nasional: Pengingat Pentingnya Keluarga yang Sehat
- Sarapan Bergizi, Murid Giat Belajar