Fenomena Joki Tugas: Tanda Menurunnya Integritas Peserta Didik?

mencegah penggunaan joki tugas

Joki tugas sudah ada sejak lama. Namun, era digital membuat fenomena ini semakin marak. Apakah ini pertanda kemerosotan mental para peserta didik di Indonesia? Bagaimana kita menyikapinya?

Sistem pendidikan dirancang untuk membiasakan peserta didik belajar secara mandiri maupun berkelompok, dengan harapan mereka mampu menguasai materi pembelajaran dan mengimplementasikannya di kemudian hari. Namun, maraknya fenomena joki tugas membuat peserta didik tidak perlu repot-repot belajar, tetapi masih bisa mendapatkan nilai bagus.

Para joki biasanya adalah sesama pelajar yang memang hobi belajar, dan mereka memanfaatkan “keahliannya” untuk mencari uang. Ada yang sekedar sebagai uang jajan tambahan, tetapi ada juga yang melakukannya karena desakan ekonomi. Jasa yang ditawarkan pun beragam, mulai dari penulisan makalah harian, artikel jurnal, skripsi, bahkan tesis dan disertasi.

Investigasi Kompas melaporkan bisnis joki ini menghasilkan banyak uang. Tarif yang dipatok pun bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Ada joki yang mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, membiayai kuliah, dan bahkan hingga biaya sekolah adiknya. 

Sebenarnya, perjokian di dunia pendidikan bukanlah hal baru. Namun, di masa lalu praktik ini dilakukan dengan cara yang lebih sederhana, para joki biasanya “beriklan” di warnet-warnet, atau menempelkan selebaran di tiang-tiang listrik sekitar kampus. Kini, dengan penggunaan internet yang masif, perjokian dilakukan secara sophisticated. Dan praktiknya pun meluas, tak sekedar jasa penulisan, tetapi juga jasa joki ujian daring.

Artikel berjudul “Sepak Terjang Joki Tugas Kuliah di Masa Pandemi” mengatakan bahwa seiring perkembangan teknologi, para joki lebih terbuka mempromosikan diri. Berbagai platform digital dimanfaatkan untuk beriklan, seperti media sosial. Tak kurang akal, para joki juga “berjualan” melalui marketplace. Cukup gunakan kata kunci atau tagar “joki tugas”, maka kita dapat dengan mudah terpapar “iklan” yang diunggah para joki tersebut.

Bahkan, ada yang menjalankan bisnis joki dengan badan usaha yang sah, berkedok jasa bimbingan belajar atau jasa pengetikan, dan mengemas informasi jasanya dalam bentuk situs web, seolah jasa yang ditawarkan bersifat sahih dan legal. Karyawannya pun berjumlah ratusan, dengan berbagai jenjang pendidikan, dari S1 hingga S3.

Fenomena joki ini sudah sangat meresahkan. Inilah “sisi gelap” pendidikan di Indonesia, yang tidak bisa kita abaikan. Mutu lulusan Indonesia bisa jadi menurun. Belum lagi urusan kualitas mental. Jika saat masih sekolah/kuliah saja mereka menganggap bahwa berbuat curang adalah hal yang wajar, bagaimana nanti saat mereka terjun ke dunia kerja, yang lebih kompleks dan kompetitif?

Sebagai pendidik, kita harus melihat isu ini sebagai sebuah kemerosotan, serta harus segera melalukan intervensi yang nyata dan tegas. Namun, bagaimana caranya, jika karya ilmiah buatan joki masih sulit untuk diidentifikasi?

Kita harus lebih cerdas dari para joki itu! Memang, ini adalah kerja keras kita sebagai pendidik demi menjaga kualitas lulusan dalam negeri. Kita harus lebih cermat dalam memeriksa tugas-tugas yang dikumpulkan oleh peserta didik. Jangan terburu-buru puas dan senang hanya karena mereka mengumpulkan tugas tepat waktu.

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita perhatikan saat memeriksa tugas mereka, yaitu:

  • Perhatikan penggunaan referensi. Penulisan karya ilmiah membutuhkan referensi sahih, yaitu buku dan jurnal. Kebanyakan para joki tidak memiliki waktu untuk membaca buku dan jurnal satu per satu, dan memilih sumber terbuka di internet.
  • Lakukan cek plagiarisme. Terdapat beberapa kecerdasan buatan yang bisa kita gunakan untuk cek plagiarisme, seperti Plagiarism Checker, Turin, Laporan Keaslian dalam Google Classroom, Duplichecker, dan sebagainya. Tentukan sendiri berapa persen batas plagiarisme yang dapat ditoleransi. Misalnya, jika sebuah tulisan terdeteksi mengandung plagiarisme hingga 30%, maka tulisan itu dapat dikategorikan sebagai bukan karya asli.
  • Amati korelasi judul dengan isi, dan nilai kualitasnya. Beberapa tugas menuntut peserta didik melakukan analisis mendalam dari sebuah topik atau masalah, dan banyak joki tugas yang tidak memiliki kapabilitas tersebut, sehingga tulisannya terhenti pada ranah definisi.

Sementara itu, untuk mencegah praktik perjokian, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, antara lain:

  • Terapkan metode pembelajaran yang mengharuskan semua peserta didik presentasi, dan lakukan tanya jawas serta diskusi selama presentasi. Dari situ kita bisa menilai, jika menggunakan jasa joki, mereka tidak akan menguasai materi yang dipresentasikan.
  • Motivasi peserta didik. Berikan pandangan pada mereka, bahwa nilai tinggi bukanlah tujuan akhir seorang pelajar, tetapi sebuah awal untuk maju ke depan. Sampaikan juga bahwa hasil karya sendiri akan memberikan kepuasan dan kebanggaan pribadi, dan pengetahuan yang didapatkan dari jerih payah sendiri tak akan lekang oleh waktu.
  • Ingatkan peserta didik bahwa praktik perjokian adalah sebuah tindakan ilegal, dan memiliki konsekuensi hukum yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, yang pada intinya menyebutkan jika sebuah karya ilmiah terbukti merupakan jiplakan, gelar akademiknya akan dicabut, dan sanksi pidana tertuang dalam Pasal 70. Bahkan praktik perjokian dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat/dokumen, dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Ketika menemukan praktik perjokian, jangan ragu untuk mendiskualifikasikan mereka yang terlibat, baik pengguna maupun joki. Dengan demikian kita dapat menjaga integritas akademis dan mengeliminasi ketidakjujuran intelektual.

Upaya ini harus dilakukan secara serempak, mulai dari tingkat pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi. Karena fenomena joki ini tidak hanya berada di tingkat perguruan tinggi, sejumlah joki bahkan menawarkan jasa pembuatan tugas pelajar SD, SMP, dan SMA. Jika semua pendidik kompak dalam menanamkan integritas dan kejujuran pada peserta didiknya secara bersinambung, bukan tidak mungkin dunia pendidikan di Indonesia akan bersih dari praktik perjokian.

Dengan semangat Hari Pendidikan Nasional, mari kita berantas praktik perjokian, demi pendidikan Indonesia yang lebih baik dan terus berjaya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Penulis: Astrid Prahitaningtyas

Artikel terkait:

Share :

Related articles