Maraknya penggunaan AI dalam pendidikan masih disertai kekhawatiran mengenai risiko pelanggaran regulasi, plagiasi, dan etika akademis. Institusi pendidikan harus membuat kebijakan untuk menavigasi hal inI.
Pesatnya kemajuan AI menimbulkan kekhawatiran di lingkungan akademis. Salah satunya adalah siswa dapat dengan mudah menggunakan AI generatif teks untuk menyontek atau plagiasi tugas.
Survei yang dilakukan oleh Intelligent.com menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga peserta didik telah menggunakan AI generatif teks untuk membuat esai dan menyelesaikan tugas-tugas ilmiah mereka. Studi ini juga menunjukkan peserta didik percaya bahwa menggunakan AI untuk menyontek adalah hal yang salah, tetapi mereka tetap melakukannya. Survei ini juga mencatat terbaginya para pendidik ke dalam dua kelompok, yaitu memasukkan AI ke dalam pembelajaran dan melarangnya sama sekali.
Kekhawatiran lainnya adalah bahwa penggunaan AI generatif teks dapat menyebabkan penurunan kemampuan critical thinking siswa, juga bisa mengakibatkan penurunan kemampuan menulis dan berbahasa. Beberapa akademisi juga berpendapat bahwa hal ini akan berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan, dan pada akhirnya merugikan para siswa itu sendiri.
Kekhawatiran ini telah membuat beberapa universitas melarang penggunaan AI generatif dalam program akademik mereka. Delapan dari dua puluh empat universitas bergengsi yang tergabung dalam Russel Group di Britania Raya telah menyatakan bahwa penggunaan bot AI untuk mengerjakan tugas sebagai pelanggaran akademik. Sementara itu, berbagai universitas di dunia bergegas untuk meninjau kebijakan plagiarisme dengan alasan kekhawatiran atas integritas akademik. Bahkan, beberapa universitas di Australia harus mengubah prosedur ujian dan penilaian kembali berbasis pena dan kertas.
Namun, ada juga pendapat bahwa AI generatif memiliki potensi untuk merevolusi pendidikan dan meningkatkan pengalaman belajar bagi siswa. Sebagai contoh, beberapa ahli menyarankan bahwa AI generatif dapat digunakan untuk memberikan umpan balik dan dukungan yang dipersonalisasi kepada siswa, membantu mereka mengidentifikasi area kelemahan dan meningkatkan keterampilan mereka dengan cara yang adaptif.
Ketidakpastian ini mendorong kebutuhan akan kebijakan tentang pemanfaatan AI dalam pendidikan. Padahal, menurut UNESCO Global Survey, kurang dari 10% institusi pendidikan memiliki kebijakan kelembagaan atau panduan formal mengenai pemanfaatan teknologi berbasis AI. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk segera memformulasikan peraturan dan kebijakan penggunaan AI dalam institusi pendidikan.
UNESCO telah merilis dua rekomendasi terkait pemanfaatan AI, yaitu Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence dan AI and Education: Guidance for Policy-makers. Dengan menggunakan rekomendasi UNESCO sebagai dasar, sebuah artikel riset memformulasikan kerangka kerja kebijakan AI yang komprehensif dalam pendidikan.
Untuk mengubah rekomendasi kebijakan menjadi rencana aksi, terdapat sepuluh area utama yang diorganisasi menjadi tiga dimensi yang bersifat ekologis, yaitu Governance Dimension, Pedagogical Dimension, dan Operational Dimension.

Berikut penjelasan tiga dimensi kerangka kerja kebijakan AI yang komprehensif dan bersifat ekologis:
1. Governance Dimension (Senior Manajemen)
Dimensi ini menekankan pada pertimbangan tata kelola seputar penggunaan AI di bidang pendidikan, mencakup area-area utama berikut ini:
- Memahami, mengidentifikasi, dan mencegah pelanggaran akademik dan dilema etika.
- Mengatasi tata kelola AI: privasi data, transparansi, akuntabilitas, dan keamanan.
- Mengaitkan teknologi AI.
- Memastikan kesetaraan dalam akses ke teknologi AI.
Governance Dimension menyoroti pentingnya penanganan masalah terkait pelanggaran akademik, privasi data, transparansi dan akuntabilitas. Dimensi ini memastikan bahwa para pemangku kepentingan harus memahami dan mampu mengatasi tantangan etika yang terkait dengan teknologi AI, mendorong pemanfaatannya yang bertanggung jawab, dan membantu menjaga kepercayaan dalam ekosistem institusinya. Fokus governance (tata kelola) ini adalah mendorong institusi untuk mengembangkan kebijakan dan pedoman yang jelas, memastikan siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dapat menavigasi lanskap etika yang kompleks seputar AI.
Manajemen Senior yang menjadi pemrakarsa dimensi ini, karena merekalah yang memegang otoritas dan pengambilan keputusan. Mereka harus mampu mengembangkan dan menegakkan kebijakan, pedoman, dan prosedur dalam menangani masalah etika seputar pemanfaatan AI dalam pendidikan. Hal ini mencakup integritas akademik, privasi data, transparansi, akuntabilitas, dan keamanan. Peran Manajemen Senior adalah memastikan bahwa AI digunakan secara bertanggung jawab dan etis, mendorong lingkungan belajar yang adil, setara, dan inklusif.
2. Pedagogical Dimension (Pendidik)
Dimensi ini berfokus pada aspek belajar mengajar dengan integrasi AI, mencakup area-area utama berikut ini:
- Meninjau kembali proses penilaian dan ujian.
- Mengembangkan kompetensi/keterampilan umum siswa secara menyeluruh.
- Mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia kerja.
- Mendorong pendekatan yang seimbang terhadap adopsi AI.
Pedagogical Dimension menekankan perlunya mengadaptasi metode pengajaran dan strategi penilaian sebagai respons terhadap kemampuan AI yang terus berkembang dan mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia kerja yang semakin digerakkan oleh AI. Dengan berfokus pada pedagogi, dimensi ini memastikan bahwa AI dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil pembelajaran dan mengembangkan critical thinking, kreativitas, dan keterampilan penting lainnya, dan bukannya merusak integritas akademik.
Pendidik adalah inisiator untuk Pedagogical Dimension, karena merekalah yang merancang dan mengimplementasikan rencana pelajaran, kegiatan, dan penilaian dengan memanfaatkan teknologi AI. Mereka harus memiliki keahlian untuk menentukan bagaimana AI dapat mendukung dan meningkatkan pengalaman belajar siswa. Pada saat yang sama, mereka harus memiliki kesadaran dan pengetahuan yang diperlukan untuk mendidik siswa tentang potensi risiko yang terkait dengan penggunaan AI generatif dalam pembelajaran, terutama dalam penilaian dan tugas, seperti plagiarisme dan kecurangan seperti menyontek. Pendidik perlu mendorong penggunaan AI secara etis, misalnya melalui atribusi yang tepat untuk mengakui kontribusi teknologi AI dalam pekerjaan siswa, dan mengembangkan tugas penilaian yang membutuhkan analytic and critical thinking untuk menghindari plagiarisme dengan bantuan AI. Dalam artikel sebelumnya, REFO pernah membahas mengenai implementasi AI dalam pendidikan dan etikanya. Artikel ini dapat membantu pendidik untuk mengetahui hal-hal tentang etika dan penggunaan AI dalam ruang kelas.
3. Operational Dimension (Pendidik, Tenaga Kependidikan, Tim IT)
Dimensi ini menekankan pada pertimbangan tata kelola seputar penggunaan AI di bidang pendidikan, mencakup area-area utama berikut ini:
- Memahami, mengidentifikasi, dan mencegah pelanggaran akademik dan dilema etika.
- Mengatasi tata kelola AI: privasi data, transparansi, akuntabilitas, dan keamanan.
- Mengaitkan teknologi AI ke dalam ekosistem.
- Memastikan kesetaraan dalam akses ke teknologi AI.
Operational Dimension menggarisbawahi perlunya pemantauan, evaluasi, dan dukungan yang berkelanjutan untuk memastikan implementasi teknologi AI yang efektif dan merata. Dengan mempertimbangkan aspek operasional, dimensi ini mendorong institusi pendidikan untuk memberikan pelatihan, sumber daya, dan dukungan kepada semua pemangku kepentingan, mempromosikan akses yang sama ke teknologi AI, dan mendorong lingkungan pembelajaran yang inklusif. Selain itu, dimensi menekankan pentingnya peningkatan dan adaptasi yang berkelanjutan, sehingga memungkinkan untuk menyempurnakan strategi integrasi AI sebagai respons terhadap wawasan baru dan kebutuhan yang terus berubah.
Untuk menggawangi dimensi ini, diperlukan keterlibatan seluruh pendidik, tenaga kependidikan, dan tim IT. Mereka memainkan peran penting dalam mengelola dan memelihara teknologi AI yang digunakan dalam lingkungan pendidikan. Tugas mereka termasuk memberikan pelatihan dan dukungan untuk siswa dan staf, memastikan berfungsinya alat AI dengan baik, dan mengatasi masalah teknis yang mungkin timbul. Mereka dapat memastikan bahwa teknologi AI terintegrasi dengan mulus ke dalam lingkungan pendidikan, meminimalkan gangguan dan memaksimalkan potensi manfaatnya.
Sangat penting untuk seluruh anggota civitas akademika untuk menyadari bahwa tanggung jawab setiap dimensi dalam kerangka kerja ini bersifat ekologis, dan tidak dapat dilihat secara terpisah. Kolaborasi dan komunikasi di antara semua pemangku kepentingan sangat penting untuk memastikan keberhasilan implementasi kebijakan apa pun, termasuk kebijakan tentang pemanfaatan AI dalam ekosistem institusi pendidikan. Setiap kelompok harus secara aktif berpartisipasi dalam pengembangan dan pelaksanaan inisiatif terkait AI dan bekerja sama untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam pengajaran dan pembelajaran.
Namun, mengadvokasi implementasi AI dan menciptakan kebijakan seputar pemanfaatanya saja tidak cukup. Para pemangku kepentingan perlu mengevaluasi dengan cermat teknologi AI apa saja yang akan digunakan, menentukan metode terbaik dalam menggunakannya, dan memahami kemampuan teknologi AI tersebut secara komprehensif.
Untuk itu, REFO menggelar G-Schools Indonesia Summit 2025 yang mengangkat tema “AI : The New Frontier in Education” untuk mengeksplorasi lebih lanjut penerapan teknologi AI yang bertanggung jawab dalam pembelajaran, sekaligus untuk ikut membangun literasi AI di kalangan pendidik di tanah air. Mari bergabung dengan mendaftarkan diri Anda melalui tautan ini.
Penulis: Astrid Prahitaningtyas
Artikel terkait: