Kontribusi Perempuan Dorong Pertumbuhan Bangsa

hari perempuan internasional

Ketika kaum perempuan di suatu negara mendapatkan kesetaraan akses ke seluruh sektor, yang akan menuai hasil bukan hanya pribadi perempuan itu sendiri, tetapi juga bangsanya. Namun, masih banyak stigma yang mempersulit gerak perempuan Indonesia untuk berkarya dan berkontribusi.

Sekilas melihat budaya Indonesia mungkin yang terasa adalah kentalnya patriarki. Kaum perempuan masih jamak diarahkan untuk mengurus keluarga dan rumah tangganya. Masih sering terdengar kalimat-kalimat seperti, “Perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, toh, nanti ujung-ujungnya di dapur” atau “Rekrut perempuan jangan ketuaan, nanti tidak fokus kerja”.

Ageisme terhadap perempuan terkait ketenagakerjaan memang meresahkan. Salah satu praktiknya adalah banyaknya lowongan kerja perempuan yang mensyaratkan status belum menikah atau tidak berencana menikah dalam waktu dekat. Anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Solo Astrid Widayani membenarkan, memang ada stigma bahwa perempuan berusia 25 tahun ke atas memiliki produktivitas yang lebih buruk karena berfokus pada keluarga, anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Padahal, studi Federal Reserve Bank di St. Louis menyebutkan bahwa perempuan dengan anak minimal dua adalah yang paling produktif. Beberapa penyebabnya adalah kemampuan mereka untuk beradaptasi dan meningkatkan efisiensi guna memenuhi pelbagai kebutuhan anak-anak dan rumah tangganya. Bagi mereka, multitasking adalah sebuah kebutuhan agar waktu tidak terbuang sia-sia. Secara singkat, seorang ibu adalah manajer yang andal dan produktif.

Kementerian Tenaga Kerja RI merilis Buku Ketenagakerjaan dalam Data (KDD) Edisi 2 Tahun 2023 yang menyajikan data ketenagakerjaan umum bersumber dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dua kali dalam setahun. Halaman 103 dalam publikasi tersebut menyatakan bahwa jumlah pekerja perempuan di Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Mirisnya, jumlah pekerja keluarga/tidak dibayar berjenis kelamin perempuan jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.

Publikasi yang sama (halaman 106) juga menyatakan adanya ketimpangan jumlah upah yang signifikan antara pekerja laki-laki dan perempuan, seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini:

Studi rilisan McKinsey Global Institute menyatakan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan di negara-negara Asia Pasifik hampir tidak beranjak selama 20 tahun terakhir. Padahal, dengan memajukan kesetaraan gender dinilai dapat menambahkan $4,5 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan kolektif pada tahun 2025, atau meningkat sebesar 12% dibandingkan kondisi bisnis seperti biasa.

Publikasi Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menyatakan partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51%, artinya dari semua perempuan usia produktif hanya setengahnya yang bekerja. Sementara, tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki ada pada angka 82%. IBWCE juga menyatakan bahwa tingginya tingkat diskriminasi, terutama kesenjangan upah, menjadi salah satu alasan partisipasi angkatan kerja perempuan masih rendah. Diskriminasi berlapis, seperti ageisme, stigma, dan ketimpangan upah, juga mengurangi minat perempuan untuk aktif di pasar kerja, dan menjadi alasan perempuan memilih bekerja di sektor informal (tidak terdaftar) dan/atau menjadi ibu rumah tangga (tidak dibayar).

Pada tabel Penduduk yang Bekerja di Indonesia menurut Status Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di atas, jumlah angkatan kerja perempuan dengan status berusaha sendiri (baik dibantu pekerja tetap/dibayar maupun tidak tetap/tidak dibayar) cukup signifikan, yaitu 18.927.881 atau 34,78% dari total angkatan kerja perempuan di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu tanda bahwa para perempuan telah menemukan jalur lain untuk mendapatkan penghasilan, yang mungkin akan lebih menjauhkan mereka dari diskriminasi seperti yang terjadi di dunia kerja konvensional.

Menarik memang, jika kita melihat data dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender Kementerian Keuangan RI yang menyatakan bahwa lebih dari setengah UMKM di Indonesia (53,76%) dimiliki oleh perempuan, di mana 97% karyawannya juga perempuan, dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 61%, investasi 60%, dan ekspor 14,4%. Inilah kekuatan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perjalanan ekonomi Indonesia pun pernah mencatat bahwa bisnis-bisnis yang dikelola perempuan inilah yang mendorong ekonomi kembali bangkit dari krisis 1998. Hal ini menyatakan besarnya kontribusi perempuan dalam perekonomian di Indonesia.

Statistik Indonesia 2023 menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,7 juta jiwa. Jumlah ini terdiri dari 139,3 juta orang laki-laki dan 136,3 juta orang perempuan. Artinya 49,44% penduduk Indonesia berjenis kelamin perempuan. Jika kita menafikan potensi perempuan yang nyaris separuh dari total jumlah penduduk, maka Indonesia pun akan kehilangan separuh potensinya untuk berkembang. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk mendorong dan memastikan kesetaraan gender dalam berbagai sektor, karena perempuan sangat mampu untuk berkontribusi setara. Semakin banyak perempuan yang berkarya, semakin sehatlah kondisi suatu bangsa.

Pada Hari Perempuan Internasional 2024 ini, UN Women mengusung tema “Invest in women: Accelerate Progress”. UN Women yakin bahwa berinvestasi pada perempuan dan memperjuangkan kesetaraan gender akan mendorong masa depan di mana masyarakat dapat berkembang, menciptakan dunia dengan peluang dan pemberdayaan tanpa batas bagi semua orang. Berinvestasi di sini bukan berarti semata-mata secara finansial, tetapi secara holistik, yaitu menghilangkan segala jenis stigma dan diskriminasi terhadap perempuan. Karena, pada hakikatnya semua manusia dilahirkan setara.

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Penulis: Dania Ciptadi

Artikel terkait:

Share :

Related articles