Kenali Perilaku Perundungan di Kalangan Murid

perundungan bullying

Kasus perundungan (bullying) masih marak terjadi di kalangan pelajar Indonesia. Tidak hanya penyintas, pelaku perundungan juga perlu diberikan perhatian khusus.

Perundungan adalah perilaku agresif yang muncul dengan ditandai adanya ketidakseimbangan kedudukan atau power. Power yang dimaksud adalah motivasi untuk melakukan kontrol atau kecenderungan untuk merasa “lebih”.

Di laman resminya, Australian Human Rights Commission menyatakan perundungan adalah perilaku berulang yang dengan sengaja membuat seseorang atau sekelompok orang menderita. Biasanya, perundungan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh atau kedudukan lebih tinggi kepada orang yang memiliki kedudukan lebih rendah untuk membuatnya merasa kurang berkuasa bahkan tidak berdaya.

Mari kita kenali jenis-jenis perilaku perundungan sebagai berikut:

  1. Penindasan fisik (physical bullying)

Yang termasuk dalam penindasan fisik antara lain adalah memukul, menendang, mendorong, meludah, memukul, mencuri, dan merusak harta benda. Meskipun penindasan ini dilakukan untuk menyakiti fisik seseorang, tetapi penindasan fisik juga menyebabkan kerugian psikologis. 

  1. Penindasan verbal (verbal bullying)

Yang termasuk dalam penindasan verbal antara lain adalah mencaci-maki, mengejek dengan kata-kata yang menyakitkan, menghina, mempermalukan seseorang, memberikan komentar rasis, dan melakukan pelecehan seksual. 

  1. Penindasan sosial (social bullying)

Yang termasuk dalam penindasan sosial antara lain adalah mengucilkan seseorang dari kelompok, mengabaikan orang lain, bergosip atau menyebarkan desas-desus yang belum tentu kebenarannya, membuat orang lain terlihat bodoh, merusak reputasi, dan pertemanan.

  1. Penindasan elektronik (cyberbullying)

Yang termasuk dalam penindasan elektronik antara lain adalah menggunakan email, telepon seluler, pesan teks, dan situs internet untuk mengancam, melecehkan, mempermalukan, mengucilkan secara sosial, atau merusak reputasi, dan pertemanan.

  1. Penindasan rasial (racial bullying)

Yang termasuk dalam penindasan rasial antara lain adalah memperlakukan seseorang dengan buruk karena latar belakang ras atau etnisnya, mengatakan hal-hal buruk tentang latar belakang budayanya, dan melontarkan lelucon rasis. 

  1. Penindasan agama (religious bullying)

Yang termasuk dalam penindasan agama antara lain adalah memperlakukan seseorang dengan buruk karena latar belakang agama atau keyakinannya. Hal tersebut dilakukan dengan berkomentar negatif tentang agama atau keyakinan, membuat julukan atau nama ejekan, serta melontarkan lelucon buruk berdasarkan agama dan keyakinan.

  1. Penindasan seksual  (sexual bullying)

Yang termasuk dalam penindasan seksual antara lain adalah perlakuan bersifat seksual yang membuat orang lain merasa tidak nyaman. Seperti membuat lelucon seksis, menyentuh atau memegang seseorang secara seksual, berkomentar kasar atau pengucilan berdasarkan perilaku atau orientasi seksual seseorang, atau menyebarkan desas-desus seksual.

  1. Penindasan disabilitas (disability bullying)

Yang termasuk dalam penindasan disabilitas antara lain adalah memperlakukan seseorang dengan buruk karena disabilitasnya, seperti sengaja menyakiti secara fisik maupun melontarkan lelucon berdasarkan disabilitas seseorang.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sepanjang Januari-Agustus 2023 terdapat 379 anak usia sekolah menjadi korban kekerasan fisik dan perundungan di lingkungan sekolah.

Mengutip Kompas, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat selama bulan Januari hingga September 2023 terdapat 23 kasus perundungan di satuan pendidikan:

  • 50% terjadi di jenjang SMP
  • 23% terjadi di jenjang SD
  • 13,5% terjadi di jenjang SMA
  • 13,5% terjadi di jenjang SMK

Kasus-kasus perundungan tersebut telah memakan korban jiwa. Satu siswa SDN di Kabupaten Sukabumi dan seorang santri di MTS di Kota Blitar meninggal dunia usai mengalami kekerasan fisik dari teman sebaya, keduanya terjadi di lingkungan sekolah. Ada juga seorang santri yang dibakar oleh teman sebaya hingga mengalami luka bakar serius.

Jurnal Prevention Acts towards Bullying in Indonesian Schools: A Systematic Review menyebutkan beberapa faktor penyebab perilaku perundungan, sebagai berikut:

  1. Keluarga

Sikap orang tua yang overprotective membuat anak rentan terhadap praktik perundungan. Anak yang memiliki orang tua dengan didikan terlalu disiplin dan membatasi adalah yang paling mungkin menjadi “mangsa” para pelaku perundungan. Jika orang tua selalu melindungi, mengambil alih semua masalah, dan/atau terlalu keras dan membatasi, anak tidak akan memiliki kemampuan menghadapi masalah kompleks atau menangangi konflik, sehingga mereka tidak memiliki strategi untuk mengatasi masalah dan cenderung menjadi sasaran perundungan. Pola kehidupan orang tua yang berantakan, tidak stabil pikiran dan perasaannya, pertengkaran, permusuhan, serta perceraian orang tua dapat memicu stres dan depresi pada anak, sehingga mereka juga jadi rentan terhadap praktik perundungan.

  1. Media Massa

Penting bagi orang tua untuk mengawasi hiburan yang dikonsumsi anaknya. Media massa, seperti televisi dan media cetak dapat menularkan perilaku perundungan dari apa yang disajikannya. Acara TV, film, atau bacaan lainnya dapat memberikan dampak perilaku merugikan, seperti antisosial, kekerasan, perilaku agresif, dan rasa takut yang berlebihan. Jurnal tersebut mengutip survei Kompas (Saripah, 2006) yang menyatakan bahwa 56,9% anak meniru adegan dalam film yang ditontonnya. Umumnya mereka meniru gerakan (64%) dan kata-kata (43%).

  1. Teman sebaya

Salah satu faktor yang paling signifikan dalam hal perundungan adalah teman sebaya, terutama yang memiliki pengaruh negatif dengan cara menyebarkan gagasan, baik secara aktif maupun pasif, bahwa perundungan adalah hal biasa dan wajar untuk dilakukan. Hal ini mengakibatkan perundungan terjadi karena tuntutan konformitas. Terutama pada usia remaja, di mana mereka mulai mencari “dukungan” dan “rasa aman” dari teman-teman sebayanya, maka mereka akan cenderung ikut untuk melakukan praktik perundungan karena ingin beradaptasi.

  1. Lingkungan sosial 

Kondisi lingkungan sosial dapat menjadi penyebab perilaku perundungan. Kasus kriminal menjadi salah satu implikasinya. Suasana politik yang kacau, ekonomi yang tidak menentu, ketidakadilan dalam masyarakat, penggusuran, pemerasan, perampokan, pemerkosan, dan kemiskinan; semua itu dapat memicu munculnya perilaku tidak normal, kecemasan, kebingungan, dan perilaku patologis. Hal tersebut dapat mendorong anak menjadi kecanduan narkoba, alkohol, dan obat-obatan terlarang, dan banyak yang menjadi neurotik dan psikotik, yang akhirnya terlibat dalam perilaku perundungan. Contohnya adalah kemiskinan, faktor ini dapat menyebabkan seseorang untuk melakukan apa saja (termasuk tindak perundungan dan kriminal) untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.

Pencanangan program antiperundungan telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik sekolah-sekolah maupun lembaga-lembaga yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Pemerintah pun telah mengesahkan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP) sebagai payung hukum untuk seluruh satuan pendidikan. Peraturan ini lahir untuk secara tegas menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, intoleransi, serta membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan berperspektif pada korban.

Melalui Permendikbudristek PPKSP tersebut pemerintah ingin agar satuan pelajar dapat membangun lingkungan yang inklusif dan memiliki kontrol atas dirinya. Inklusif berarti, para siswa bisa menerima siapa pun tanpa membeda-bedakan dalam lingkungannya dan memiliki kontrol atas dirinya, berarti para siswa bisa mengontrol diri, memahami jadwal dan aturan yang ditetapkan, terbiasa memiliki target dan tujuan. Sementara dalam hal regulasi emosi, para siswa diharapkan bisa menyadari, mengenali, menerima, dan memberikan waktu untuk merasakan emosi negatif yang dialaminya.

Namun begitu, praktik perundungan masih saja terjadi, terutama di lingkungan sekolah. Apa yang harus kita lakukan jika perundungan sudah terjadi?

Psikolog dari Hope Psikologi & Nido Psikologi, Artafanti, M.Psi., dalam Indonesia Edu Webinar REFO yang berjudul “Psikologi Serba-serbi Perilaku Bullying”, menyarankan agar kita melakukan langkah-langkah berikut:

  1. Lindungi penyintas perundungan dengan kondisi yang adil dan apa adanya sesuai dengan kenyataan.
  2. Cari tahu lebih lanjut hal yang terjadi dan tidak mengerdilkan kondisi dengan merasa bahwa hal tersebut adalah candaan atau wajar dilakukan oleh seorang anak.
  3. Berikan pendampingan kepada penyintas dan pelaku sesuai dengan tahapan usianya. Kemudian, bekerja sama dengan pihak-pihak profesional yang dibutuhkan.

Mari kita lebih peka terhadap perundungan, agar hal-hal buruk akibat praktik ini tidak pernah terjadi lagi.

Penulis: Ega Krisnawati

Artikel terkait:

Share :

Related articles