Intoleransi adalah isu yang serius di Indonesia. Sekolah, di mana seharusnya anak-anak belajar untuk menerima perbedaan, bukan jaminan tempat yang bebas dari praktik intoleransi. Sebagai pendidik, guru memiliki peranan penting dalam mendeteksi dini bibit-bibit intoleransi di sekolah, menciptakan solusi, dan menjadi agen perubahan dalam memberantas intoleransi.
Intoleransi adalah isu yang serius dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sekolah, tempat di mana seharusnya anak-anak belajar untuk menerima perbedaan identitas sebagai bagian dari kehidupan, belum berhasil lepas dari ancaman intoleransi.
Intoleransi sulit untuk dihindari karena hal ini adalah topik yang sifatnya pribadi, sesuatu yang kita tidak terbiasa untuk mengemukakan dan hanya menyimpannya dalam pemikiran, tapi nyata dalam perbuatan. Sebuah isu yang sifatnya “tidak perlu bertanya dan tidak perlu mengatakannya”, serta menganggap seolah semua baik-baik saja. Padahal jika menggali lebih dalam, permasalahannya sangat banyak dan kompleks.
Contoh perbedaan antara pemikiran dan perilaku sehubungan dengan intoleransi dapat dilihat dari hasil survei CSIS pada tahun 2017 yang menyatakan bahwa 90,5% milenial tidak setuju jika Pancasila diganti dengan ideologi lainnya, tetapi 53,7% milenial merasa tidak bisa menerima pemimpin publik yang beda agama. Artinya, secara pemikiran para milenial ini terlihat pancasilais, tapi dalam praktik kehidupan nyata mereka tidak bisa menerima perbedaan identitas.
Jika kita tarik garis ke belakang, intoleransi terjadi tak lain karena adanya indoktrinasi, sebuah klaim kebenaran, yang menyatakan bahwa satu golongan adalah yang paling benar, dan tidak ada kebenaran lain di luar golongan tersebut. Terlebih jika golongan yang lain itu memiliki hal yang tidak dimiliki, sehingga menimbulkan iri hati, kecemburuan, rasa tidak suka, serta rasa tidak aman (insecure), dan jika hal-hal semacam ini dipelihara dalam hati akan menimbulkan stereotip negatif terhadap golongan lain tersebut.
Titik rawan terjadinya intoleransi adalah dari lingkungan paling dasar, yaitu rumah dan sekolah. Jika orang tua memiliki cara pandang yang intoleran, maka rasa dan sikap intoleransi tersebut akan ditularkan pada diri anaknya. Kemudian jika para pendidik di sekolah memiliki cara pandang yang intoleran, maka mereka akan “membantu” untuk merawat, dan bahkan menyumbangkan, intoleransi dalam diri anak didik.
Kemudian bagaimana peran pendidik dalam mencegah terjadinya intoleransi di sekolah? Pendidik harus bisa memberi contoh perilaku toleransi, mendeteksi adanya bibit intoleransi, dan mencari solusi agar bibit-bibit tersebut tidak terus berkembang. Pendidik harus berani mendobrak kebiasaan-kebiasaan yang bisa menimbulkan intoleransi. Memang tidak mudah, karena biasanya hal-hal semacam itu justru tidak mendapatkan banyak dukungan.
Buku hasil survei PPIM UIN Jakarta tahun 2018 yang berjudul Pelita yang Meredup: Keberagaman Guru Sekolah/Madrasah di Indonesia, memperlihatkan adanya intoleransi dalam diri para pendidik di Indonesia. Meskipun secara perilaku masih cenderung moderat, tapi secara opini persentase intoleran lebih besar. Tentu ini memprihatinkan, pemikiran intoleran dapat menjadi landasan munculnya perilaku intoleran. Pendidik punya peran yang sangat penting dalam membentuk nilai-nilai, cara pandang dan pemikiran anak didiknya. Pemikiran dan perilaku toleran harus tertanam dalam diri pendidik, karena hanya dengan cara demikian pendidik dapat menjadi teladan bagi anak didiknya. Guru, sebagai pendidik, harus terlebih dahulu mereformasi pola pikirnya.
Lalu bagaimana cara untuk mendeteksi dini adanya bibit toleransi dalam diri anak didik? Hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apakah agamaku lebih baik, sedikit lebih baik, atau sama saja dengan agama orang lain?” Jawaban dari pertanyaan itu jelas akan menggambarkan adanya bibit pemikiran intoleransi yang bisa muncul sebagai perilaku intoleransi di kemudian hari.
Kemudian, solusi terbaik agar bibit-bibit intoleransi tidak berkembang adalah dengan mengajarkan pembauran dan pluralisme dalam kehidupan bersekolah. Pendidik dapat mengadakan semacam field trip, di mana anak-anak didik bisa bertemu langsung dengan golongan-golongan yang berbeda sehingga akan tercipta keterlibatan dan interaksi sederhana, seperti bermain dan makan bersama. Hal ini akan menanamkan pengalaman baik dan tak terlupakan, yang kemudian melahirkan sikap saling memahami antar-golongan, yang menjadi landasan cara berpikir dan sikap yang toleran.
Mari kita bersama-sama belajar hal yang paling dasar, yaitu menjadi manusia dan memanusiakan manusia, serta berani menjadikan diri kita sebagai teladan dan agen perubahan itu sendiri.
Untuk melihat video webinar klik di sini.
Penulis : Astrid Prahitaningtyas
Artikel Terkait :
- Mengajarkan Keberagaman via Snail Mail
- Marilah Kita Berseru, “Indonesia Bersatu”
- Memperingati Kesaktian Pancasila Sebagai Landasan Realita Hidup Berbangsa